Selasa, Februari 04, 2014

WANI PIRO?

sumber foto: iklan djarum 76
Suatu ketika seorang konsultan muda yang baru saja merintis karir, bertemu dengan salah seorang sahabat lamanya. Terhitung cukup lama dua sahabat ini tak bersua. Pertemuan itu menjadi momentum lepas rindu bagi mereka. Dan mulailah keduanya membuka album hidupnya, bercerita tentang tentang banyak hal, yang lucu, yang haru, bahkan yang pilu. Mereka tertawa, saling mentertawai, dan sesekali mentertawai dirinya sendiri. Kadang kalau dipikir-pikir hidup memang lucu, hehe.

Lama mereka bertukar kisah, sampai akhirnya si konsultan muda menawarkan bekerja sama untuk mengembangkan lembaga konsultannya. Maklum, sahabatnya ini seorang aktivis yang kenal banyak pejabat juga politisi. Maka wajar si konsultan muda mengajak sahabatnya kerja sama, lebih-lebih untuk dunia konsultan yang baru digelutinya itu.

Meski kenal banyak pejabat dan politisi, sahabatnya ini masih lebih sering 'bermasalah' dalam hal keuangan. Ternyata relasi saja belum cukup membuat kita 'cukup'. Modal Intelektual (expertise) rasanya penting untuk meyakinkan relasi bahwa kita memang layak 'dipakai' jasanya. Sahabatnya memang punya banyak relasi, sayangnya belum berhasil mengasah passionnya hingga menyulap diri menjadi sang ahli. (Baca tulisan sebelumnya, 'Temukan Passionmu')

Sadar akan hal itu, si konsultan muda mengajak kerja sama sahabatnya, dengan harapan jaringan yang dimiliki sahabatnya bisa menjadi energi positif yang dapat diubah menjadi bahan bakar pengembangan diri (menjadi expert) sekaligus menjadi ikhtiar menemukan rezeki.

Sayang sungguh sayang, jauh dari bayangan. Tawaran si konsultan muda dijawab mengecewakan, ‘mau bayar guwa berapa lu, wani piro?', ujar sahabatnya. Konsultan muda terkejut, ia tersenyum dan tak ada satu kata pun yang terucap dari mulutnya.

Pertemuan itu berlalu begitu saja, yang didapat hanya cerita nostalgia. Konsultan muda pulang membawa segudang kecewa karena sikap sahabatnya. 'Dia tau saya ini baru mulai, saya tau bahwa dia juga belum sukses-sukses amat, walau relasinya banyak, jika tak pandai memanfaatkannya, untuk apa, sia-sia. Sebagai sahabat, saya hanya ingin mengajak maju bersama.', gerutu konsultan muda dalam hati, sambil menginga-ingat kata-kata sahabatnya.

Ada pelajaran berharga yang konsultan muda dapat dari pertemuannya itu. Sebagai seorang konsultan tentu dia harus bergaul dengan banyak orang. Semakin luas jaringan silaturahimnya, akan semakin banyak peluang jasa konsultannya mendapat klien. Namun, gaul saja belum cukup. Harus ada sesuatu yang pantas untuk 'dijual'. Apa itu? 'Keahlian'. Tanpa itu, nasibnya pun mungkin akan serupa dengan yang dialami sahabat aktivisnya itu.

Tak kalah penting, pertemuan itu menyadarkan bahwa sikap sahabatnya yang berfokus pada 'to have', dengan semboyan wani pironya, menghalangi diri untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi expert. Tanpa iming-iming ibalan, Ia enggan berlatih mengasah bakat dengan menambah jam terbang. Fokusnya pada 'to have', membunuh potensinya untuk menjadi expert (to be).

Sikap hidup ‘wani piro’ adalah godaan kesenangan sesaat. Wani piro adalah sejenis penyakit yang bisa mengidap siapa saja dan menghalanginya untuk membuka pintu-pintu kemenangan (kesuksesan) dalam hidup. Tak salah memang menghitung-hitung apa yang akan kita dapat. Tapi terlampau fokus pada 'saya dapat apa dan berapa', menghilangkan penghargaan pada proses berlatih menjadi ahli.

So, yuk fokus pada 'to be', insyaAllah 'to have' mengiringi dibelakangnya. Mari memantaskan diri menjadi sosok yang expert sehingga tanpa bertanya wani piro pun, orang akan malu 'membayar' kita dengan harga yang murah.


Cijantung, 4 Februari 2014

jujulmaman