Jumat, Oktober 31, 2014

BUNGKUS VS ISI

Tersiarnya kabar seorang pembantu presiden yang ‘nyentrik’, mulai dari cara berbusana, merokok di Istana, memiliki tato, sampai tingkat pendidikannya yang hanya lulusan SMP namun ‘sukses’, menjadi buah bibir menarik di publik socmed. Pemandangan ‘tak lazim’ ini menuai pro dan kontra. Bagi yang simpati pada bu Menteri segala pujian tertuju padanya, data mengenai prestasinya dishare dan dikomentari penuh semangat, kadang sedikit emosional. Tidak demikian bagi yang ‘terusik’ dengan kehadiran gaya ‘nyentrik’ bu Menteri. Seperti yang pro, mereka juga menshare informasi ‘buruk’ sang pembantu Presiden itu.
Ada-ada saja kreativitas publik socmed mengespresikan pendapatnya, ada yang menyandingkan foto bu Menteri dengan salah seorang mantan kepala daerah yang kini ‘nyantren’ karena kasus korupsi. Pada foto bu Menteri ditulis; perokok, bertato, 2 kali kawin cerai, bergajulan, tidak berjilbab, tidak lulus SMA. Dan pada bagian gambar mantan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi itu ditulis; tak merokok, tak bertato, tak kawin cerai, santun, berjilbab, pendidikan tinggi. Bagi yang pro Menteri ‘nyentrik’ mungkin ingin berkata bahwa ‘tuh lihat, yang tampilannya baik toh ternyata korupsi juga’.
Sekarang mari lihat kreativitas yang terusik oleh ulah ‘nyentrik’ bu Menteri. Mereka menyajikannya dalam bentuk dialog seorang guru dan muridnya. Guru: Budi, kenapa bajunya tidak dimasukkan? Budi: Pak Presiden aja bajunya gak dimasukkan. Guru: Kenapa kamu bertato? Budi: Ibu Menteri kita saja bertato kok. Guru: Lalu kenapa merokok di lingkungan sekolah? Budi: Lah, para Menteri aja bebas merokok di Istana. Guru: Kalo begitu, sekarang masuk kelas, ayo belajar biar pinter. Budi: Nggaklah bu, orang yang gak lulus SMA aja bisa jadi Menteri.
Respon yang berbeda pada perilakau ‘nyentrik’ bu Menteri muncul dari sudut pandang yang berbeda saat melihat sesuatu. Manusia memang secara alamiah memiliki kemampuan menyeleksi. Maka wajar terjadi beda pendapat tentang sebuah peristiwa, karena saat menyeleksi, biasanya sesorang akan berdiri pada titik yang berbeda, kadang ia hanya melihat dari sudut pandang dirinya. Latar belakang pendidikan, nilai, adat, agama, dan sebagainya memberi pengaruh pada cara pandang seseorang.
Semua itu sah, sulit memang menghakimi persepsi orang lain. Alih-alih mendapat solusi dari perdebatan itu, justru memperkeruh persoalan dan menjauhkannya dari pokok masalah yang ingin dijernihkan. Jika dicermati, perdebatan yang terjadi adalah soal ‘bungkus’ dan ‘isi’. Satu pihak berkeyakinan bahwa apalah aritnya bungkus, toh yang bagus luarnya belum tentu dalamnya, isi lebih penting. Pihak lainnya beranggapan berbeda, bagaimana mungkin dalamnya baik, jika bungkusnya saja demikian, tak pantas pemangku jabatan publik yang seharusnya menjadi panutan menampilkan luaran yang kurang nyaman untuk dilihat.
Fay Irvanto (@FayIrvanto), seorang Charisma Coach, mengatakan bahwa untuk berkharisma seseorang harus memperhatikan dua hal, konten dan konteks. Konten terkait dengan isi, seorang yang ingin berkharisma harus menguasai bidang yang ia geluti. Sebagai contoh, orang yang bicara soal kelautan dan perikanan, misalnya akan lebih didengar (berkharisma) ketika ia ‘berilmu’ tentang itu (ini bukan soal tingkat pendidikan formal).
Sementara konteks berkaitan dengan bungkus, tampilan seperti apa yang ingin dimunculkan ke publik. Dan cara berbusana yang tepat dan benar adalah salah satu contoh dari pentingnya konteks untuk menunjang kharisma. Baik konten ataupun kontkes, keduanya akan menjadikan seseorang didengar dan diikuti perkataanya. Bukankah sebagai Pejabat Publik harus menapilkan diri yang terbaik, dari isi juga bungkusnya untuk menghasilkan komunikasi yang efektif pada publik. Elite tak bisa bekerja sendiri, ia butuh rakyat sebagai pendukung kebijakan yang akan diambil dan dilaksanakan. Wallahu ‘Alam Bissawab.

Salam Powerful…!
Julmansyah Putra

Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07