Senin, Desember 16, 2013

LIHAT KE BAWAH...!

Sore itu Buyan terpaksa harus menghentikan laju sepeda motornya. Guyur hujan disertai angin cukup kencang membatasi jarak pandangnya. Lebi-lebih jas hujan yang biasa dikenakannya lupa, tertinggal dirumah, sebab kemarin hujan pula dan Buyan tak sempat merapihkannya.

Sambil berdesak-desakan di halte menunggu hujan reda, Buyan melamunkan banyak hal. Ia membiarkan lamunya terbang entah kemana ia ingin, Buyan tak berusaha mencegah atau membatasinya. Buyan teringat anak dan istrinya di rumah. Lalu sebentar ia merogoh handphone yang ada di saku jaketnya. ‘Halo mom’, Buyan menelpon istrinya, ‘di rumah hujan tidak mom’, tanya buyan pada istrinya. ‘Di sini hujan deras, daddy harus berhenti, tadi lupa bawa jas hujan, lanjut Buyan. ‘Kaka bagaimana mom’, tanya buyan lagi, Buyan biasa memanggil anaknya dengan sebutan kaka. ‘Daddy kangen, pengen gendong, peluk, cium kaka’.

Entah apa jawaban istrinya di sebrang ujung telpon sana, Buyan tak terlalu hiraukan itu, maklum saja derai hujan, pekikan halilintar dan riuh orang-orang yang berteduh di halte sore itu membuat suara istrinya di ujung telpon jadi samar-samar terdengar. Bagi Buyan, cukuplah istrinya tau bahwa ia sedang berteduh seraya merindukan mereka yang di rumah. Itu sungguh romantis buat Buyan. Tak lama kemudian Buyan mengakhiri telponya, ‘Sudah ya sayang, jaga diri, tunggu daddy pulang, salam cium buat kaka, salam alaikum’, tutup Buyan.

Hujan masih saja deras ketika Buyan mengakhiri telponya. Kembali Buyan melayangkan hayalnya. Ia teringat tentang dirinya, pekerjaannya, rencana hidupnya yang tertunda, yang gagal, atau bahkan mimpi-mimpi yang seolah musykil. Buyan urai satu-persatu, ia biarkan itu memenuhi lamunnya.

Entah beberapa lama Buyan larut dalam lamunan, tiba-tiba ia menarik nafas panjang dan menghempaskannya seolah ingin melempar beban yang berkecamuk di pikirannya, ‘huuuft, berat sekali hidup ini, sampai kapan begini, Buyan setengah bergumam. Buyan sering merasa jenuh dengan rutinitas pekerjaannya, namun Buyan tak ada pilihan, jika tak bekerja, bagaimana menafkahi keluarga, bagaimana membayar kontrakan untuk tahun berikuntnya, bagaimana ini, bagaimana itu, bagaimana, bagaimana, dan bagaimana.

Buyan, terus menggerutu, memaki-maki nasibnya. Ia merasa orang yang paling menderita di dunia, paling gagal, paling tak berdaya. Dalam kegalauan yang luar biasa, Buyan mulai membanding-bandingkan hidupnya dengan orang lain. Si anu enak, si anu beruntung, si anu bahagia, terus dan terus saja Buyan membandingkan hidupnya. Dan semakin ia lakukan itu, semakin menyesakkan dada, semakin menambah kegalauannya. Buyan mulai kesal dan seamkin kesal. Seolah mimpinya, keinginannya, harapan masa depannya tak mungkin dan mustahil nyata. Buyan semakin memaki hidup dan nasibnya. Kalau saja itu bukan di halte yang ramai orangnya, mungkin Buyan sudah teriak keras-keras.

Tiba-tiba, ada satu pemandangan yang menghentak kesadarannya. Buyan seketika diam, berhenti memaki hidupnya yang baginya paling menderita. Seorang bapak tua, mungkin usianya sudah 60 an, mendorong gerobak es, melintas melaju melawan derasnya hujan. ‘Oh, bapak tua itu lebih menderita dari aku, kata Buyan dalam hati. Entah sudah laku berapa es nya, mungkin tak banyak, atau malah tak laku sebab hujan deras sekali mengguyur. Aku yang setiap harinya duduk di ruang ber-AC, kerjaku lebih banyak di depan komputer, hanya sesekali saja aku keluar kantor untuk menemui beberapa orang. Berani-beraninya aku mengeluh, berani-beraninya aku merasa pekerjaanku paling payah. 

Buyan diam. Ia tak berani meneruskan keluh kesah, ia berhenti mencaci maki hidupnya sendiri. Buyan diam, Buyan tersadar. ‘Ampuni aku ya Allah, rasa ini, mata ini, hati ini, telinga ini, hanya memperhatikan mereka yang lebih di atasku, aku lupa bahwa yang hidup jauh lebih menderita juga tak sedikit jumlahnya, aku lupa melihat ke bawah’, Buyan mengakhiri sepenggal doa dan penyesalan sore itu di sebuah halte ketika berteduh menunggu hujan mereda.

Renungan sore di sebuah halte, 2012
jujulmaman