Kamis, Juli 24, 2014

SELAMAT JALAN PROF

Menganal Prof. Dr. Ir. Muhammad Amin Aziz adalah titik balik bagi kehidupan saya. Beliau membantu untuk menemukan kembali diri saya. Banyak ilmu kehidupan yang saya pelajari dari beliau, baik itu yang diucapkannya langsung pada saya, atau ditunjukkannya dalam contoh sikap dan perilaku beliau. Untuk urusan kedua ini, beliau sering menggunakan istilah ‘dakwah bil hal’, menyeru kebaikan dengan contoh konkret melalui perbuatan.

Saya mengenal Prof. Amin, sekitar tahun 2010 awal. Diajak seorang teman untuk bergabung di lembaga binaan Prof. Amin, Dai Fiah Qolilah (DFQ), begitu lembaga itu dikenal. Mulanya, saya hanya berfikir soal bagaimana memiliki aktivitas setelah lulus kuliah, bekerja dan dapat uang dari apa yang saya kerjakan. Teman sempat mengatakan bahwa lembaga itu bergerak di bidang penulisan buku dari ide-ide Prof. Amin.

Ternyata, apa yang saya temukan jauh berbeda dari apa yang saya bayangkan. Bukan sekedar menulis, tapi ada banyak kegiatan yang terkait dengan pengayaan pengalaman hidup saya temukan di DFQ. Saya banyak belajar. Selain menulis kami diajari untuk bisnis, untuk menjadi pembicara, merumuskan modul-modul training, mengisi pengajian di masjid dekat rumah beliau, bahkan kami sering menjadi imam dalam shalat lima waktu di masjid itu. Pengalaman yang sungguh luar biasa, berbeda 100 persen dari hidup saya sebelumnya.

Pengalaman pertama bekerja bersama Prof. Amin, saya sempat kaget, sebab ketika masuk, saya dan beberapa teman yang waktu itu bersama-sama, kami diminta menghafalkan zikir al-Fatihah. Beliau menyebutnya, zikir hati. Bagi beliau hati harus khusyu’ dengan cara menyampaikan pesan dari makna yang terkandung dalam surat yang disebut ummul qur’an itu, agar darinya lahir kekuatan untuk menjadi pribadi unggul, tangguh, dan mulia. (Baca: The Power of Al-Fatihah)

Biasanya, setiap pagi, sebelum rapat, kami berkumpul bersama Prof. Amin dan membaca al-Fatihah berikut menyampaikan pesannya dengan bahasa hati. Walau bagi saya agak aneh, sebab tak pernah saya jumpai cara kerja seperti ini. Tapi saya memutuskan untuk menikmatinya. Dan justru dalam upaya menikmati apa yang saya kerjakan, di situlah saya menemukan banyak hal.

Satu-satu semangat hidup yang sempat hilang mulai lahir kembali. Saya merasa lebih bahagia, lebih tenang, lebih menghargai diri sendiri, orang lain, menghargai waktu, berani mengambil keputusan (dan salah satu keputusan terbesar adalah berani menikah, sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya), saya mulai menemukan potensi diri, menemukan apa yang menjadi kekuatan saya.

Prof. Amin mengajarkan bahwa apapun yang kita kerjakan adalah ibadah. Untuk itu dalam setiap zikir yang kita lakukan, selain berdoa, juga ada ikrar untuk mempersembahkan segala karya bakhti itu hanya untuk Allah, sebagai ibadah kita kepada-Nya. Maka sebagai wujud bhakti kepada Zat yang Maha Agung, karya-karya yang kita ikhtiarkan harus merupakan karya yang menghadirkan manfaat buat kepentingan hajat hidup orang banyak.

Satu hal yang membuat saya begitu merasa menyesal adalah, belum sempat mengucap terima kasih untuk semua jasa beliau kepada saya. Bersama beliaulah saya seolah terlahir kembali, diberi Allah melalui Prof. Amin kesempatan untuk hidup kedua. Bagi saya, Beliau bukan hanya pembimbing di kantor, tapi seorang guru, orang tua, kakak, sahabat yang selalu ada buat kami.

Pernah suatu kali ketika beliau ingin berangkat berobat ke Singapura, seperti biasa sebelum berangkat kami berzikir bersama membaca al-Fatihah dengan pesannya. Dan sebelum berangkat, saya ingin sekali memeluk beliau dan mengatakan terima kasih Prof, terima kasih Prof, terima kasih Prof. Sayang itu tak saya lakukan, saya malu, saya sungguh menyesal.

Kini, sosok luar biasa itu sudah Allah panggil menghadap-Nya, Rabu, 23 Juli 2014. Jasamu tak mungkin terlupakan. Semoga Allah mencatat semua itu sebagai jariyah bagimu. Terima kasih. Selamat jalan Prof. Amin.

[Alloohummaghfir lahu Warhamhu Wa ‘Aafihi Wa'fu ‘ahu]

Julmansyah Putra
(Muridmu)



Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah81
Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org 




Din Syamsudin: M Amin Aziz Tokoh Penting Ekonomi Islam

foto Teguh Indra/Republika (Prof. MAA semasa hidup)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah  Din Syamsudin menyampaikan rasa duka yang mendalam atas wafatnya Prof M Amin Aziz. Menurutnya, almarhum  merupakan tokoh penting bagi ekonomi Islam di Indonesia, Rabu (23/7). 

"Alhmarhum mengambil prakarsa penting dalam perkembangan serta kemajuan ekonomi keislaman di indonesia," kata Din Syamsudin di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur.   

Keberhasilan beliau, lanjut Din, salah satunya dengan mendirikan Bank Muammalat. "Itu salah satu indikasi kebangkitan ekonomi islam, meskipun akhir-akhir ini menghadapi masalah," katanya. 

Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, sosok M Amin Aziz  sangat konsisten dalam dunia perekonomian. " Beliau jua pernah menjadi Ketua Komisi Ekonomi MUI,  di Muhammadiyah beliau mendirikan Baitul Mal Tanwil Muhammadiyah, dan lembaga keuangan lain," katanya. 

"Kita berharap akan lahir Amin Aziz baru, yang akan melanjutkan dakwah di bidang perkembangan ekonomi umat, dan juga ekonomi Islam Indonesia," kata Din. 

Sebagai Ketua PP Muhammadiyah dan MUI Din menyampaikan rasa duka yang mendalam atas kepergian M Amin Aziz. "Semoga keluarga menerima dengan keimanan, kesabaran dan ketabahan," ungkapnya.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/07/23/n964sr-din-syamsudin-m-amin-aziz-tokoh-penting-ekonomi-islam

Senin, Juli 21, 2014

TETAPKAN AKHIR HIDUPMU

Bicara soal kematian kadang membuat sebagian orang merinding. Lebih-lebih ketika berpikir tentang ajal diri sendiri. Ini adalah persoalan semua orang, dan saya salah satunya. Pernah saya begitu takut jikalau tiba-tiba Tuhan mengambil titipan berupa hidup ini. Saya berhenti bernafas, dimandikan, dikafani, disholatkan, kemudian beramai-ramai diantar ke peradeuan terakhir, untuk kemudian saya mulai ‘hidup’ baru sendiri di dalam kubur.

Satu hal yang membuat saya semakin takut, kadang sedih, bahkan merinding adalah ketika ingat bahwa saya harus meninggalkan keluarga, meninggalkan anak, orang tua, saudara, dan orang-orang yang kita sangat sayangi. Ingat semua itu, saya semakin takut.

Tapi, setelah direnugkan kembali, ternyata dengan mengingat kematian dan bahkan menetapkan akhir hidup, kita mampu menjadikan sisa umur semakin berharga. Menghargai setiap momen kebersamaan kita di tengah keluarga, keterlibatan kita di lingkungan kerja, suasana keakraban dalam persahabatan, merupakan energi yang lahir dari kesadaran kita pada kematian. Ternyata dengan begitu, hidup semakin indah dan penuh makna.

Kesadaran ini saya temukan setelah membaca sebuah cerita yang sangat inspiratif tentang seorang laki-laki yang tampak begitu bosan, jenuh dengan hidupnya. Dalam kegalauan hidup itu ia memutuskan menemuia orang bijak, seorang sufi untuk menasehatinya. ‘sufi, saya bosan hidup, rumah tangga saya berantakan, usaha saya kacau. Saya ingin mati saja’, curhat pria itu pada sang sufi.

Mendengar itu, sang sufi tersenyum dan berkata, ‘oh, anda tampaknya sedang sakit. Tapi yakinlah, sakitmu bisa disembuhkan’. ‘Tidak sufi, saya sudah memutuskan untuk mengakhiri hidup ini’, jawab pria itu memastikan. Mendengar itu, sang sufi berkata, ‘baiklah, jika itu keputusanmu, silahkan kau minum racun ini. Minumlah setengah botol malam ini dan sisanya kau minum besok sore pukul 6. Jangan khawatir 3 jam setelah itu kamu akan mati dengan tenang’, ujar sang sufi meyakinkan pria itu.

Meski kelihatan bingung melihat sikap sang sufi yang bukan mencegahnya dan memotivasi agar ia tetap hidup, pria yang berniat mengakhiri hidupnya itupun kembali pulang ke rumah dan menjalankan perintah sang sufi. Ia meminum setengah botol racun dan menyimpan sisanya untuk diminum besok sore.

Pria itu berpikir bahwa ini adalah malam terakhirnya bersama keluarga. Maka, ia pun mengajak keluarganya makan malam di restoran pavoritnya. Ia memesan semua makanan kesukaannya. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak ia lakukan. Tak lupa, pria yang berniat mati itupun bersenda gurau penuh suka cita bersama anak-anak dan istrinya. Ia ingin meninggalkan kesan terakhir yang patut dikenang, pikirnya. Sebelum tidur, ia sempatkan menuju kamar anaknya, memberi dongeng sampai anaknya terlelap. Tak ketinggalan, pria ini mencium kening istrinya, sambil mengatakan, ‘sayang, aku mencintaimu’.

Pagi-pagi sekali pria itu bangun dari tidurnya. Membuka jendela kamar, melihat pemandangan halaman rumahnya. Ia menikmati setiap hirupan udara pagi yang sungguh menyegarkan itu. Pria ini memutuskan berjalan-jalan pagi terakhirnya. Ia berjalan sendiri mengelilingi kompleks perumahan tempat ia tinggal. Menyapa setiap orang yang ia temui dengan begitu ramah dan hangat. Pagi itu, sang pria merasa begitu bahagia.

Setelah cukup puas berjalan-jalan. Pria yang berniat mengakhiri hidupnya itupun kembali ke rumah. Melihat sang istri masih tidur, pria itupun membuat 2 buah gelas teh hangat. Kemudian ia membangunkan istrinya dengan lebut. ‘sayang, bangun sayang. Ini aku sudah siapkan teh hangat untukmu’. Perlakukan yang tidak biasa itupun membuat sang istri tampak begitu heran. Lalu memberanikan diri bertanya, ‘pa, apa yang terjadi? Apakah aku ada salah ya? Maafkan aku ya sayang’. Ujar sang istri.

Pria itu hanya tersyum, menggelengkan kepala samabil terus menikmati teh hangat buatannya. Tentu saja istrinya semakin merasa aneh, tapi ia cepat menyesuaikan diri. Ia tak ingin merusak kebahagiaan suaminya pagi ini.

Setelah rapih, pria itupun bergegas menuju kantor. Tampaknya ia tak ingin melewatkan hari kerja terakhirnya. Ia menguacapkan salam pada seluruh stafnya. Tentu saja, seperti istrinya di rumah, karyawan-karyawannya pun keheranan melihat perubahan bosnya itu. ‘Lho, tumben, biasanya si bos tak pernah seramah itu. Ko aneh ya?’, ucap salah seorang staf. ‘Iya’, jawab staf lain membenarkan. ‘Biasanyakan pak bos jutek, boro-boro menyapa, sedikit senyumpun tidak. Mengapa hari ini beliau begitu toleran, menghargai pendapat kita yang berbeda. Aneh, mungkin beliau mulai menikmati pekerjaannya’, katanya terheran.

Sekali lagi, pria yang ingin bunuh diri itu merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Terlebih, ketika sore hari ia tiba di rumah, sang istri menyambutnya dengan senyum dan menciumnya. Anak-anaknya pun tampak begitu ceria, berlari menghampiri dan memeluknya. Mereka begitu bahagia melihat perubahan sang ayah.

Pria itu menemukan keindahan hidup, justru satu hari sebelum ia menetapkan waktu akhir dari hidupnya. Tiba-tiba ia ingin mengurungkan niat bunuh dirinya. Namun, yang terpikir olehnya adalah, bagaimana dengan racun setengah botol yang sudah terlanjur ia minum? Buru-buru pria itu mendatangi sang sufi. Dalam cemas, ia berkata pada sang sufi bahwa ia ingin mengurungkan niatnya bunuh diri. ‘Tapi bagaimana dengan racun yang terlanjur aku minum kemarin wahai sufi?’ Tanya pria itu.

Sufi itupun tersenyum dan mengatakan, ‘buang saja sisa racun di botol itu. Sesungguhnya aku tidak memberimu racun. Aku hanya memasukkan air putih biasa ke dalam botol itu.’ Dan saya bersykur, kini engakau sudah kembali pulih dari sakitmu, tutur sang sufi.

Mungkin kita pernah merasa bosan dengan hidup yang kita jalani. Itu alamiah. Tapi ketahuilah, seperti pengalaman pria dalam cerita tadi, semua berubah indah pada saat kita sadar akan meninggalkannya. Menetapkan kapan akhir dari kehidupan, mungkin akan membantu kita menghargai setiap momen kehidupan yang sedang dijalani. Semoga. Wallahu’alam Bisswab

Salam Powerful!
Julmansyah Putra


Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @jujulmaman
Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org


Selasa, Juli 15, 2014

RENUNGAN SABAR

Sering orang mengatakan bahwa ‘sabar ada batasnya’. Ungkapan ini sering terucap ketika seseorang sedang menahan diri untuk tak membalas perlakuan buruk orang lain. Saat ia sudah begitu tersudut akibat penzoliman lingkungan terhadap dirinya. Atau ketika musibah seolah tak henti menghampiri, kemudian dalam keputusasaan kalimat itu sering terucap. Tidak! Jika sabar itu berbatas, sesungguhnya pada titik itulah sabar itu tak lagi bersama kita.

Sabar tak itu tak bertepi. Allah meminta orang yang beriman menjadikan sabar sebagai penolongnya. Bahkan, Allah akan selalu bersama mereka yang menggenggam sabar dalam hatinya. “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah [2]: 153). Dan sungguh janji Allah tak mungkin Ia ingkari.

Pelajaran sabar, tentu tak selalu ditemukan dalam bentuk derita. Perlakukan buruk orang lain, cobaan hidup yang tampak tak berujung, adalah satu bagian dari proses seorang hamba menemukan sabar. Pun, sejatinya pelajaran sabar dapat dijumpai dalam bentuk kenikmatan. Kecukupan bahkan kelebihan harta, jabatan, keluarga yang bahagia, dan kesenangan dunia lainnya merupakan ujian, apakah seseorang mampu bersykur. Sabar untuk tidak terlena dalam kekenikamtan sehingga lupa diri dan melupakan orang lain.

Baik derita ataupun nikmat, keduanya adalah ujian yang sedang diberikan Allah pada hamba-Nya, apakah ia layak dinaikkan ‘kelasnya’. Tahan ujian juga menjadi bukti keimanan. Bukankah, tak serta merta seseorang mengaku beriman tanpa diuji terlebih dahulu. Allah mengingatkan, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al 'Ankabuut [29]: 2)

Lalu bagaimana caranya, menyikapi ujian penderitaan dan kenikmatan agar menjadi keberkahan hidup dan sabar berbuah bahagia? Setidaknya ada dua hal yang penting untuk kita pahami dan jalani. Pertama, jadikan sabar dalam ujian sebagai momentum meminta pertolongan Allah. Prof. M. Amin Aziz, penulis buku The Power of Al-Fatihah, terkait dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 153, ia berpendapat bahwa dalam sabar dan shalat kita diperintahkan Allah untuk berdoa memohon pertolongan kepada-Nya. Dan yakinilah bahwa Allah Zat yang Maha Pengabul doa.

Kedua, jadilah hamba yang khusyu’ hatinya, yaitu mereka yang menyakini bahwa segala bermula dari Allah dan kepada-Nya segala sesuatu akan kembali, seraya mengatakan innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Allah mewanti-wanti, bahwa sabar adalah perbuatan yang sulit dilakukan, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',” (QS. Al-Baqarah [2]: 45)

Keinsyafan bahwa kesabaran harus hadir dalam setiap saat, duka maupun suka, adalah sikap yang akan menjadikan kita selalu mawas juga terjaga, bila derita yang sedang kita hadapi, bersabarlah. Sebab boleh jadi itu pertanda (ujian) derajat kita akan dinaikkan. Sebaliknya, jika kenikmatan yang sedang kita rasakan, bersabarlah. Boleh jadi itu adalah ujian kesanggupan kita mensyukuri apa yang Allah berikan. Sebab, jika kufur, kenikmatan itu sewaktu-waktu bisa berupah menjadi petaka.

Akhirnya, mari kita merengkuh sabar dalam setiap aktifitas kita. Yakinlah bahwa sabar tak berbatas. Tak ada akhir dari kesabaran. insyaAllah Zat Yang Maha Sabar akan senantiasa bersama dan menolong kita yang sabar. Semoga. Wallahu’alam Bissawab.


Salam Powerful…!
Julmansyah Putra


Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @jujulmaman
Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org



Kamis, Juli 10, 2014

CAPRES (TAK) SANTUN

Hasil quick count Pilpres 2014 yang dilakukan beberapa lembaga survey menghasilkan kesimpulan berbeda. Celakanya, meski bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, hasil penghitungan cepat dijadikan landasan untuk menyatakan kemenangan. Perayaan ‘kemenangan’ sementara itu dilakukan dengan mendeklarasikan secara terbuka. Seolah ingin menggiring opini publik, bahwa hasil quick count adalah final. Lalu bagaimana jika hitungan KPU menyatakan sebaliknya?

Deklarasi kemenangan capres menggunakan hasil quick count menunjukkan sikap tak santun para kandidat yang bertarung. Lebih-lebih jika itu dilakukan dengan selebrasi yang berlebihan. Apapun alasannya, mereka tak menghargai Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai wasit yang sah untuk menentukan siapa pemenang. Pun, sikap tak santun ini bila tak dicegah akan melahirkan riak di tengah masyarakat yang sudah terlanjur bersitegang menjadi pembela masing-masing pasangan calon dengan segenggam argumentasi pembenaran atas pilihannya.

Apakah keduanya benar? Atau salah satu dari kelompok ini telah berdusta? Pertanyan inilah yang penting untuk kita cermati untuk memahami musabab tak santuntnya capres pada ‘pesta rakyat’ tahun 2014 ini.

Dusta Survey
Dusta adalah perbuatan yang paling hina. Ia adalah ibu kandung dari semua keburukan. Maka kekhawatiran pada apa yang terjadi dalam Pilpres 2014 merupakan kewajaran yang cukup beralasan. Ketika kelompok penghitung cepat melakukan kebohongan publik, maka kehancuran mungkin sudah menanti di depan mata. Keburukan sebagai buah dari dusta akan menjadi hasil yang akan kita petik bersama selaku penduduk negeri.

Keburukan yang paling nyata yang menjadi ancaman saat ini adalah hilangnya rasa persatuan berbangsa dan bernegara kita. Hasil hitung yang berbeda dilanjuntkan manuver tak santun capres dengna deklarasi kemenagan menumbuh suburkan saling curiga, benci, dan kemarahan. Semua itu menjadi potensi yang bisa jadi meledak dalam bentuknya yang paling ekstrem yaitu pertumpahan darah sesama saudara anak bangsa.

Mungkin ada baiknya kita menyimak kembali hadits Rasulullah berikut ini: Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada Al-Birr (kebaikan), sedangkan kebaikan itu mengantarkan ke dalam surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa bersikap jujur hingga ia dicatat di sisi Allah Ta’ala sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya Al-Kadzib (kebohongan) itu mengarahkan pada kejahatan, sedangkan kejahatan itu menjerumuskan ke dalam Neraka. Sungguh seseorang senantiasa berbohong hingga dicatat sebagai pendusta.” (HR. Bukhari)

Celaka benar perbuatan dusta itu, sampai Rasulullah mengingatkan bahwa dusta akan melahirkan keburukan, dan keburukan akan bermaura pada neraka. Dan bukankah neraka adalah seburuk-buruknya tempat untuk dibernaung? Neraka adalah puncak dari kesengsaraan hidup umat manusia. Ia adalah jawaban bagi mereka yang menciptakan keburukan. Dan dusta adalah muasalnya.

Adalah penting bagi para capres yang berkompetisi untuk bisa menahan diri, menunjukkan sikap kenegarawanannya. Tidak menggunakan survey dusta sebagai klaim kemenangan, apalagi dideklarasikan secara terbuka dan massif. Sikap seperti ini akan melahirkan harmoni bagi Republik tercinta. Inilah sikap santun yang harusnya ada dalam kesadaran diri para pemimpin bangsa. Wallahualam Bissawab.


Salam Powerful…!
Julmansyah Putra


Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @jujulmaman
Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org


Selasa, Juli 08, 2014

PUPUK KANDANG

Pernah dihina? Dilecehkan? Diremehkan? Ya, mungkin hampir kita semua pernah mengalami, meski dengan cara dan kadarnya yang berbeda. Respon kita pun beragam atas itu, ada yang termotivasi ada juga yang jatuh tersungkur 'mengiyakan' apa yang orang lain katakan tentang kita. Kadang kita lupa bahwa kita yang punya hak untuk membiarkan kita jatuh atau bangun, bukan orang lain.
Saya pernah mengalami hal serupa itu, meski tak sampai tersungkur karenanya, tapi anggapan remeh orang lain cukup menggangu rasa percaya diri saya. Akibatnya, seringkali saya tak fokus dan malu untuk mengekspresikan sesuatu. Rasa takut salah menjadi semacam 'rantai gajah' yang membelenggu kaki saya.
Apa yang orang lain katakan tentang saya benar-benar membunuh saya. Sampai hari ini, kadang perlakuan serupa masih sering saya dapatkan. Tapi saya sudah punya obatnya. Sekarang saya bisa menjawab perlakuan itu dengan mengatakan, 'alhamdulillah, terimakasih sudah menjadi pupuk kandang untuk saya kawan'. Ya saya menganggap orang serupa itu sebagai 'pupuk kadang'.
Meminjam istilah seorang inspirator SuksesMulia, Jamil Azzaini, yang menggambarkan perlakuan tak menyenangkan dari orang lain layaknya pupuk kandang, bau tapi mampu menyuburkan tanaman. Dan kita adalah tanaman itu. Pun, perlakuan buruk orang lain terhadap kita seharusnya dipandang sebagai pil pahit penawar sakit. Meski pahit, obat itu akan menyembuhkan kita dari derita.
Kang Jalal, seorang pakar komunikasi, mungkin benar ketika menyebutkan bahwa bukan lingkungan yang merubah diri seseorang, tapi cara kita mempersepsi lalu merespon lingkungan itulah yang akhirnya membentuk pibadi kita. Seperti seorang pangeran yang 'diasingkan' di sebuah lingkungan buruk dan kumuh. Pemabuk, penjudi, pembunuh, dan semua yang berlabel jahat berkumpul di tempat itu.
Namun sang pangeran merespon dengan sangat baik lingkungan dimana ia sengaja ‘diasingkan’, seraya mengatakan, 'saya terlahir sebagai pangeran, dan seorang pangeran tak pantas berperilaku buruk'. Meski berada di lingkungan yang tak kondusif, sang pangeran tetap berpikir positif. Ia mampu mengalahkan lingkungannya. Ia mampu menjadi kendali atas dirinya.
Bagi saya, bagaimanapun lingkungan juga memberi pengaruh pada proses bertumbunya kita. Tak semua orang bermental 'sang pangeran'. Maka bergaul dan menciptakan sebanyak mungkin lingkungan positif menjadi sesuatu yang harus kita lakukan. Cara ini mungkin ampuh untuk mempersempit ruang gerak para 'pupuk kandang' yang meski bisa jadi penyubur, tapi menyimpan bahaya laten yang tak kalah menghancurkan. Wallahu'alam Bissawab


Salam Powerful...!

Julmansyah Putra

Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @jujulmaman
Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org


Senin, Juli 07, 2014

BERHENTILAH HIDUP DI MASA LALU

Pernah mendengar atau melihat ada orang yang susah move on? Tiba-tiba menagis tersedu ketika mendengar sebuah lagu yang membuka kembali album masa lalunya. Atau mendadak uring-uringan mana kala bertemu seseorang yang pernah menyakitinya di masa lalu. Atau menggalau segalau-galaunya saat melintas atau berada di suatu tempat yang punya memori khusus, entah menyenangkan atau menyakitkan. Pernah mendengar itu? Atau jangan-jangan kamu sendiri yang mengalaminya?

Waspadalah, jika kamu mengalami kegalauan berlebih pada apa yang pernah terjadi dalam hidupmu, boleh jadi kamu sedang terjangkit penyakit mematikan yaitu 'hidup di masa lalu'. Ini penyakit ganas, bahkan 'mematikan'. Disebut mematikan karena penyakit serupa ini membuatmu enggan bertumbuh. Jerat masa lalu menahan langkahmu untuk melakukan sebuah perubahan. Kamu 'mati' meski nafasmu masih berhembus.

Tapi jangan bersedih hati, setiap penyakit tentu ada obatnya. Bagi kamu yang terkena sindrom ini, saya punya tiga tips untuk mengobatinya. Pertma, katakan selamat tinggal pada masa lalu. Mungkin sulit melupakan apa yang pernah terjadi, lebih-lebih itu sangat berkesan. Tak perlu kamu bersusah payah melupakannya, cukup katakan, 'hai masa laluku. Aku ingin berdamai denganmu, aku tidak akan melupakanmu, karena kau adalah bagian dari perjalan hidupku, aku hanya ingin melewatkanmu, kemudian hidup tenang mulai hari ini dan akan datang'. Let bygone be bygone. Yang lalu biarlah berlalu.

Kedua, setelah kamu berdamai dengan masa lalumu. Maka buat dan tuliskan rencana masa depanmu. Pastikan hidupmu memiliki visi yang jelas dan 'takdir' seperti apa yang hendak kau lukis untuk kehidupanmu di masa datang. Sekedar usul, dalam merumuskan visi hidup, adalah penting untuk tidak egois. Kamu tidak hidup sendirian di dunia ini. Kamu adalah 'wakil' Tuhan yang sedang melaksanakan program-nya.

Maka, visimu harusnya diarahkan dalam rangka mengembangkan semesta dan  membahagiakan sesama. Suksesmu harus menajdi sukses untuk semua orang. Bukankah Tuhan sungguh cinta pada dia yang menjadi sebaik-baik manusia, yaitu yang menghadirkan manfaat buat sebanyak-banyaknya manusia.

Dalam sebuah kesempatan, saya pernah berbagi, berdiskusi dengan sahabat-sahabat satu almamater. Kepada yang hadir saya tanyakan prestasi terbaik apa yang ingin mereka persembahkan untuk dunia. Salah seoarang menuliskan bahwa pada usianya ke 45 ingin memiliki passive income sebesar 50 juta perbulan.

Mendengar itu, saya pun bertanya, setelah inginmu terwujud so what? Dan luar biasa dia kemudian menjawab, 'saya ingin bangun sebuah masjid dekat dimana saya kerja'. Ternyata tempat ia bekerja jarang, bahkan menurutnya sungguh sulit ketika shalat Jumat tiba. Mudah-mudahan bukan cuma 50 juta, tapi lebih yang ia bisa kumpulkan perbulan. Amin

Ketiga, sebagai penawar penyakit 'hidup di masa lalu' adalah libatkan Tuhan dalam setiap ikhtiar yang kamu lakukan. Pastikan Tuhan selalu ada bersamamu. Dan agar itu terjadi, satu syarat yang harus kamu lakukan adalah miliki sikap 'sabar'. Hanya itu yang menjamin Tuhan akan senantiasa bersamamu. Sebagai manusia yang terkena sifat lupa dan alpa, kita butuh pembimbing. Dan sebaik-baik pembimbing juga penolong adalah Tuhan Semesta Alam. Hasbunallah wani'mal wakil, nikmal maula wani'mannasir.

Sabar tak sekedar menjamin kehadiran Tuhan untukmu. Lebih dari itu dalam sabar kamu akan selalu terjaga, jika suatu waktu masa lalu menggoda kamu bisa tetap konsisten pada apa yang telah kamu putuskan. Pun, sabar akan menguatkan kamu menghadapi onak dan duri dalam perjalananmu mewujudkan visi masa depan.

Akhirnya, bahwa tenggelam hidup di masa lalu tidak hanya akan membuatmu mati sebelum waktunya. Lebih dari itu, ia akan menghambat kamu bertumbuh dan mengabaikan tugas muliamu sebagai 'wakil' Tuhan di muka bumi. Ingatlah bahwa Tuhan tak pernah menciptakan apapun dalam kesia-siaan. Lalu pantaskah kita menyia-nyikan sisa hidup kita dengan berkubang dalam lumpur masa lalu. Bismillahirrahmanirahiem. Yuk moveON. Wallahu'alam Bissawab.

Salam Powerful...!
Julmansyah Putra

Jumat, Juli 04, 2014

MINTA INI, DIKASIH ITU. SYUKURI...!

Apa yang kita pinta kadang belum diberikan Tuhan. Pun, jika sudah terberi sering kali tak sesuai dengan maunya kita. Begitulah Tuhan menyayangi kita. Dia Maha Tahu apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Celakanya, kita kerap lupa dan justru menggerutu, bahkan memaki-maki ketetapan-Nya yang menurut kita tak adil.

Suatu hari saat pulang kampung ke rumah mertua di Anyer, Banten, di atas angkot saya pernah berkelakar dengan istri tentang betapa Tuhan menyayangi kami. 'Alhamdulillah’, kata saya pada istri, ‘kita masih diberi kesempatan oleh Tuhan naik angkot dan berpanas-panasan’.

Sebenarnya saya sudah minta mobil sama Tuhan, tapi belum diberi. Tau kenapa? Tanya saya pada istri. Dia senyum dan menggeleng. ‘itu tandanya Tuhan sayang pada kita’, ujar saya. Lho ko bisa, bukankah jika belum diberi itu tandanya kita tidak disayang? Tanya isrti.

Bayangkan jika pinta kita dikabulkan sekarang? Tuhan kasih kita mobil hari ini. Bisa jadi itu mobil lebih banyak 'nongkrong' di rumah, kan jalan harus dengan bensin, bayar TOL, belum ini itu nya, banyak deh. Dan saya belum siap untuk itu. Saya baru siap untuk ongkos angkot.

Jika saya 'memaksa' Tuhan untuk berikan saya mobil sekarang, bayangkan betapa tersiksanya saya harus beri 'makan' tambahan buat si mobil. Tuhan Maha Adil dan dan begitu sayang pada hamba-Nya. Adalah mustahil Tuhan menguji diluar kemampuan hamba-Nya. Bukankah punya mobil itu juga bagian dari ujian? Dan istri sayapun hanya tersyum. Dan entah apa maknanya. hehe

Hari itu, di atas angkot saya menyadari bahwa Tuhan Maha Tahu apa yang dibutuhkan hambanya. Menyadari hal itu akan menjadi penjaga hati dan menghindarkan diri dari sikap berkeluh kesah pada apa yang sudah kita peroleh dan dipercayakan Tuhan kepada kita.

Pun, kesadaran bahwa Tuhan Maha Tahu apa yang kita butuhkan akan menghindarkan kita dari prasangka buruk pada Zat Pemilik Segalanya. Bukankah Tuhan meminta untuk berprasangka baik pada-Nya? Sebab Dia sebagaimana yang kita prasangkakan. Jika baik, maka baik pula yang akan kita peroleh dan begitu pula sebaliknya.

Kadang yang kita dapat, memang tak sesuai dengan apa yang kita pinta dan mau. Itu bukan karena Tuhan tak sayang pada kita. Tapi justru sebaliknya, Tuhan tak ingin membebankan sesuatu diluar batas kemampuan hamba-Nya. Syukuri…! Wallahua’lam Bissawab.


Salam Powerful...!
Julmansyah Putra