Istilah 'sibuk for nothing' digunakan untuk menggambarkan 'action' tanpa
'vision'. Sebutan untuk orang yang bertindak tanpa tujuan (vision) ini saya temukan dalam
buku 'ON' (hlm. 74), karya seorang trainer keren yang tulisan-tulisannya
sungguh inspiratif, Jamil Azzaini, inspirator SuksesMulia, demikian penulis
buku-buku best seller ini dikenal.
Bertemu istilah 'subuk for nothing' seolah menemukan diri saya sendiri. Entah
sudah berapa lama saya hidup tanpa visi. Mungkin hampir separuh hidup saya, berlalu
tanpa tau untuk apa saya melakukan ini dan itu. Saya tersesat dan galau. Sibuk
dengan banyak hal, tanpa satupun yang saya capai. Saya tak punya fokus. Gelap.
Satu-satunya kalimat yang mampu menghibur penyesalan saya, tapi bukan berarti
pembenaran atas ‘kesesatan’ saya, adalah sebuah doa dalam al-Quran surat Ali
Imran ayat ketiga, 'ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka'. Saya yakin
Allah punya rencana tak terduga buat hamba-Nya. Mungkin saya 'disesatkan' sebagai
contoh agar orang lain bisa lebih baik hidupnya, mampu menetapkan visi sehingga
tak jatuh pada 'sibuk for nothing'. Semoga sahabat-sahabat tidak sampai 'tersesat'.
Saya ingat, terakhir kali saya punya visi ketika saya kelas 3 SD. Waktu itu
di sebuah perjalanan, saya bertemu dengan orang Arab yang satu angkot dengan
saya. Orang Arab bersama penerjemahnya asik berbincang, entah apa yang mereka
diskusikan. Meski tak paham, saya sungguh terkesan, melihat si penerjemah yang
berbicara bahasa Arab seperti sedang menggunakan bahasa ibunya sendiri. Sungguh
lancar dan asik ketika ia mengucapkan kalimat demi kalimat bahasa Arab itu.
Dalam kekaguman itu, saya memantabkan niat untuk belajar bahasa Arab. Saat itu,
saya beranggapan bisa masuk surga dengan menguasai bahasa Arab. Maklum
anak-anak. Hehe. 'Nantikan malaikat nanyanya pakai bahasa Arab, man Rabbuka?',
setidaknya itu yang ada dipikiran saya waktu itu. Saya ingin masuk surga,
begitulah visi masa kecil saya. Mulai hari itu, saya minta pada orang tua untuk
pindah ke sekolah agama (Madrasah Ibtidaiyah). Niat saya benar-benar mantab
untuk menguasai bahasa Arab. Bersiap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat.
Lucu juga saya dulu ya, hehe.
Cerita masa kecil saya ini bukan soal apa yang saya impikan, tapi tentang
kekuatan sebuah cita-cita. Lihatlah ketika saya membuat sebuah keputusan besar,
meninggalkan zona nyaman dan memasuki lingkungan baru, pindah sekolah untuk
belajar bahasa Arab, meski sekolah baru itu cukup jauh dari rumah jika dibanding
dengan sekolah lama. Itu saya lakukan demi sebuah visi, yaitu surga.
Ketika surga yang menjadi visi hidup saya, maka seluruh aktivitas akan saya
arahkan untuk mencapainya. Selain belajar bahasa Arab, saya belajar menutup aurat
dengan berlatih untuk selalu bercelana panjang menutupi dengkul. Saya juga sering
menggunakan peci (kopiah). Saya fokus pada ikhtiar memantaskan diri untuk masuk
surge-nya Allah. Saya sibuk untuk sesuatu yang ingin saya raih. Sekali lagi,
surga. Hehe
Sayangnya, cerita masa kecil itu, berbanding terbalik justru ketika usia
saya bertambah dan justru ketika saya begelar 'maha' (mahasiswa). Surga Allah
sempat hilang dari mimpi saya. Saya kehilangan visi. Mulailah saya 'sibuk for
nothing'. Berjalan tanpa prioritas, aktif tanpa cita-cita yang yang akan
diperjuangkan.
Hilangnya visi akhirat, atau saya lebih senang menyebutnya visi jangka
panjang, mengaburkan visi jangka pendek saya (visi dunia). Tak ada prioritas
hidup yang ingin saya capai. Tak ada langkah-langkah konkret memantaskan diri
untuk menjadi penduduk surga. Dan sudah pasti, ketika ditanya soal cita-cita, 2000
persen saya pasti bingung. Mungkin bahkan tak tau. Wallahu’alam Bissawab
Salam Powerful…!
Julmansyah Putra