Senin, Juni 23, 2014

SIBUK FOR NOTHING

Istilah 'sibuk for nothing' digunakan untuk menggambarkan 'action' tanpa 'vision'. Sebutan untuk orang yang bertindak tanpa tujuan (vision) ini saya temukan dalam buku 'ON' (hlm. 74), karya seorang trainer keren yang tulisan-tulisannya sungguh inspiratif, Jamil Azzaini, inspirator SuksesMulia, demikian penulis buku-buku best seller ini dikenal.

Bertemu istilah 'subuk for nothing' seolah menemukan diri saya sendiri. Entah sudah berapa lama saya hidup tanpa visi. Mungkin hampir separuh hidup saya, berlalu tanpa tau untuk apa saya melakukan ini dan itu. Saya tersesat dan galau. Sibuk dengan banyak hal, tanpa satupun yang saya capai. Saya tak punya fokus. Gelap.

Satu-satunya kalimat yang mampu menghibur penyesalan saya, tapi bukan berarti pembenaran atas ‘kesesatan’ saya, adalah sebuah doa dalam al-Quran surat Ali Imran ayat ketiga, 'ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka'. Saya yakin Allah punya rencana tak terduga buat hamba-Nya. Mungkin saya 'disesatkan' sebagai contoh agar orang lain bisa lebih baik hidupnya, mampu menetapkan visi sehingga tak jatuh pada 'sibuk for nothing'. Semoga sahabat-sahabat tidak sampai 'tersesat'.

Saya ingat, terakhir kali saya punya visi ketika saya kelas 3 SD. Waktu itu di sebuah perjalanan, saya bertemu dengan orang Arab yang satu angkot dengan saya. Orang Arab bersama penerjemahnya asik berbincang, entah apa yang mereka diskusikan. Meski tak paham, saya sungguh terkesan, melihat si penerjemah yang berbicara bahasa Arab seperti sedang menggunakan bahasa ibunya sendiri. Sungguh lancar dan asik ketika ia mengucapkan kalimat demi kalimat bahasa Arab itu.

Dalam kekaguman itu, saya memantabkan niat untuk belajar bahasa Arab. Saat itu, saya beranggapan bisa masuk surga dengan menguasai bahasa Arab. Maklum anak-anak. Hehe. 'Nantikan malaikat nanyanya pakai bahasa Arab, man Rabbuka?', setidaknya itu yang ada dipikiran saya waktu itu. Saya ingin masuk surga, begitulah visi masa kecil saya. Mulai hari itu, saya minta pada orang tua untuk pindah ke sekolah agama (Madrasah Ibtidaiyah). Niat saya benar-benar mantab untuk menguasai bahasa Arab. Bersiap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat. Lucu juga saya dulu ya, hehe.

Cerita masa kecil saya ini bukan soal apa yang saya impikan, tapi tentang kekuatan sebuah cita-cita. Lihatlah ketika saya membuat sebuah keputusan besar, meninggalkan zona nyaman dan memasuki lingkungan baru, pindah sekolah untuk belajar bahasa Arab, meski sekolah baru itu cukup jauh dari rumah jika dibanding dengan sekolah lama. Itu saya lakukan demi sebuah visi, yaitu surga.

Ketika surga yang menjadi visi hidup saya, maka seluruh aktivitas akan saya arahkan untuk mencapainya. Selain belajar bahasa Arab, saya belajar menutup aurat dengan berlatih untuk selalu bercelana panjang menutupi dengkul. Saya juga sering menggunakan peci (kopiah). Saya fokus pada ikhtiar memantaskan diri untuk masuk surge-nya Allah. Saya sibuk untuk sesuatu yang ingin saya raih. Sekali lagi, surga. Hehe

Sayangnya, cerita masa kecil itu, berbanding terbalik justru ketika usia saya bertambah dan justru ketika saya begelar 'maha' (mahasiswa). Surga Allah sempat hilang dari mimpi saya. Saya kehilangan visi. Mulailah saya 'sibuk for nothing'. Berjalan tanpa prioritas, aktif tanpa cita-cita yang yang akan diperjuangkan.

Hilangnya visi akhirat, atau saya lebih senang menyebutnya visi jangka panjang, mengaburkan visi jangka pendek saya (visi dunia). Tak ada prioritas hidup yang ingin saya capai. Tak ada langkah-langkah konkret memantaskan diri untuk menjadi penduduk surga. Dan sudah pasti, ketika ditanya soal cita-cita, 2000 persen saya pasti bingung. Mungkin bahkan tak tau. Wallahu’alam Bissawab


Salam Powerful…!

Julmansyah Putra

Jumat, Juni 20, 2014

KEKUATAN NIAT

sumber foto: intisari-online.com
Pernahkah kita merasa bahwa apa yang kita kerjakan tak bermakna apa-apa, kosong, hampa. Bekerja seolah menjadi rutinitas penggugur kewajiban, sekedar melaksanakan SOP perusahaan tempat di mana kita bekerja. Akibatnya, rasa malas, bosan, hilang fokus, patah semangat perlahan menjadi bagian yang menjadi ‘hantu’ bagi kehidupan kerja kita. Padahal bekerja merupakan tangga meraih bahagia, betapa naifnya untuk sesuatu yang kita sebut kebahagiaan, justru kita ikhtiarkan dengan cara yang tak mencerminkan sikap bahagia.
Apa yang salah? Apa yang menyebabkan tak ada ‘greget’, tidak ada rasa menggebu di dalam dada yang menjadi gizi pembangkit semangat kerja kita? Mengapa niat untuk hidup bahagia belum melahirkan semangat untuk melakukan yang terbaik dalam setiap ikhtiar kita, lebih-lebih untuk mencintai juga menikmati apa yang kita kerjakan? Mengapa niat belum menampakkan kekuatannya.
Niat adalah sesuatu yang ada di dalam hati. Ia tak tampak, yang terlihat hanyalah buah dari niat tersebut. Niat menjelma dalam perilaku kita sehari-hari, baik atau buruk, semangat atau tidak kita adalah hasil dari upaya kita memantabkan niat. Ibarat gunung es di tengah lautan, puncaknya hanya sedikit terlihat sementara bagian yang terluas justru berada di bawahnya.
Fenomena gunung es kerap dijadikan tamsil untuk menjelaskan bahwa mengolah bagian terluas atau biasa dikenal dengan alam bawah sadar merupakan pekerjaan yang penting. Apa yang tampak di permukaan hanya 20 persen sementara sisanya ada didalamnya. Nilai-nilai seperti semangat, kerja keras, tanggung jawab, cinta dan nilai lainnya justru refleksi dari kerja alam bawah sadar manusia.
Belajar dari fenomena gunung es, maka agar kekuatan niat itu menjelma positif dalam tiap apa yang sedang kita kerjakan, hal utama yang penting kita aktifkan adalah hati yang ternyata merepleksikan bagian terluas dalam diri manusia. Hati menjadi simbol untuk menunjukkan kewaspadaan kita.
Perhatikan! Pernahkah kita terpikir, mengapa ungkapan seseorang kepada mereka yang hendak bepergian, misalnya selalu berpesan dengan kata-kata, ‘hati-hati ya’. Mengapa untuk mengingatkan kewaspadaan seseorang, hati yang digunakan sebagai perumpamaan. Ungkapan ‘hati-hati’, mungkin sejatinya merupakan himbauan untuk menjaga hati kita. Sehingga, ketika hati terjaga, seluruh pikir, kata, dan perbuatan akan mewujud dalam perilaku positif berupa semangat kerja yang hidup, bukan sekedar rutinitas tanpa makna, kosong, juga membosankan.
Akhirnya, kekuatan niat akan muncul bila melibatkan upaya untuk mengaktifkan hati secara terus-menerus. Mari bekerja dengan hati. Dan selamat bekerja. Wallahua’lam bissawab.

Salam Powerful..!Bogor, 14 Juni 2014
Julmansyah Putra

Rabu, Juni 18, 2014

WBT OH WBT; SEBUAH PENGAKUAN

Ingat pada ungkapan ‘bagaikan katak dalam tempurung’? Itulah saya sebelum ikut Wanna Be Trainer (WBT), 13-15/6/2014 beberapa hari lalu. Bergabung di WBT sungguh menghentak kesadaran akan siapa saya. Saya seakan ditampar-tampar. Betapa sombongnya saya yang merasa sudah 'ngerti' banyak hal. Fakta berkata sebaliknya, survey membuktikan, betapa kecilnya saya ketika berada di lingkungan yang lebih besar.

Saya patut bersyukur dan bangga bertemu banyak orang dengan keunikan yang beragam. Berjumpa banyak orang berjumpa banyak pengetahuan, mungkin ungkapan ini tepat untuk menggambarkan pengalaman selama WBT di Bogor kemarin.

Gaul di komunitas yang lebih luas tak hanya menambah ilmu, tapi juga menggugah kesadaran akan diri. Sering kali kita, atau saya pribadi merasa paling 'bisa', merasa paling 'keren', sombong pada apa yang saya miliki justru karena saya hanya bergaul pada komunitas terbatas. Mungkin benar kita 'terbaik' di komunitas kita, namun kebenaran itu kadang tak berlaku ketika berada di komunitas yang lebih luas. Ada banyak orang yang ternyata lebih 'keren', 'kece', lebih hebat daripada kita. Saya adalah katak dalam tempurung.

Pengalaman WBT selama tiga hari menyadarkan saya pada tiga hal penting untuk menyingkap kungkungan tempurung yang selama ini mengkerdilkan dan me-nina-bobokkan saya di zona nyaman. saya menyebutnya 3 Ber; Bergaul, Berjanji, dan Beraksi. Apa itu, yuk simak.

Pertama, Bergaul. Semakin banyak kita berada di lingkungan positif dengan ragam orang 'hebat' di dalamnya, maka akan semakin kenal kita dengan diri sendiri. Orang lain akan menjadi cermin bagi kita, untuk melihat siapa diri kita sesungguhnya. Tentu sikap sadar itu akan tumbuh bila kita jujur pada diri sendiri, mengakui kekurangan, dan mensyukuri kelebihan.

Ingat! Tiap manusia 'unik', 'lebih-kurang' adalah bagian dari keunikan itu, tak perlu cemas apalagi putus asa. Itu tidak keren. Itu bukan alumni WBT. Hehe. Bergaul adalah upaya membuka diri. Ibarat gelas kosong yang siap diisi air. Kitapun harus siap menenerima. Sikap terbuka itu yang memungkinkan kita untuk mengetahui siapa kita.

Kedua, Berjanji. Tentu 'tau diri' belumlah cukup untuk semakin bertumbuh dan melepas tempurung diri. Harus ada niat yang membara dalam dada. Berjanji bahwa saya atas nama Tuhan akan melakukan yang terbaik untuk diri, keluarga, dan manusia seluruhnya. Saya berjanji akan menjadi sebaik-baiknya manusia, yang memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi kehidupan.

Tugas mulia untuk mengabdikan diri pada kehidupan rasanya mustahil terwujud tanpa melibatkan Tuhan, tanpa pertolongan-Nya. Ingat! Kita hanya manusia dengan segala keterbatasannya. Sementara Tuhan Maha Segalanya. Maka berjanjilah seraya berdoalah, semoga Tuhan menerangi tiap langkah kita. Lalu rasakan! Adakah gemuruh di dalam dada Anda keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu? Jika getaran itu sudah muncul, maka sekaranglah saatnya untuk beraksi.

Terakhir, hal yang mampu membuka tempurung diri adalah Beraksi. We are what we do, kita adalah apa yang kita kerjakan. Ungkapan itu kiranya tepat untuk menggambarkan betapa pentinya aksi. Kesadaran diri yang lahir dari Bergaul dan niat kuat sebagai buah dari Berjanji yang melibatkan Tuhan belumlah cukup, ia baru berupa potensi. Keduanya adalah energi potensial yang tidak mungkin meng-aktus tanpa energi gerak. Itulah Beraksi. Maka Beraksilah, Beraksilah, Beraksilah!

Dan terimakasih Wanna Be Trainer (WBT), terimakasih Pak Jamil Azzaini dan Tim sudah ‘menjewer’ saya dan menyadarkan ‘oh ternyata saya adalah katak dalam tempurung’. Semoga bebekal tiga Ber; Bergaul, Berjanji, dan Beraksi saya siap memecahkan tempurung itu. Wallahu’alam Bissawab.


Julmansyah Putra

GURU JANGAN KAKU, MURID JANGAN BELAGU

suber foto: http://www.suryaonline.co/
Seorang guru bercerita betapa beratnya mendidik murid-muridnya. 'Ah, siswaku. Mengapa sikap dan perilakumu kadang tak seperti yang aku harapkan. Adakah yang salah dari caraku mengajarimu. Ya Allah maafkan kelemahanku ini', demikian tulis seorang guru di status facebooknya.
Kegelisahan sang guru mungkin mewakili sekian banyak perasaan para guru di Indonesia, atau bahkan di manapun. Guru memang memiliki tanggung jawab moral untuk menjamin terlahirnya generasi berkarakter luhur, yang tidak sekedar pandai intelektual, tapi cerdas emosional dan kuat secara spiritual sekaligus.
Celakanya, apa yang ada di pikiran murid sering berbanding terbalik dengan cita-cita mulia seorang guru. Tak jarang murid menjuluki 'killer' pada guru yang tegas menegakkan disiplin sekolah, tegas menanamkan prinsip-prinsip kebaikan dan sebagainya. Niat baik seorang guru tak selalu dimaknai serupa oleh muridnya.
Persepsi berbeda atas kesadaran akan sesuatu merupakan kewajaran yang alamiah. Setiap manusia sejak kelahirannya diberi bekal apa yang disebut dengan 'law of selection'. Sebuah kemampuan untuk menilai, menyeleksi, memberi kesan pada sebuah objek yang dilihatnya. Objek pengelihatan bisa saja sama, namun titik tolak yang berbeda dalam pengamatannya akan menghasilkan kesimpulan berbeda. Itulah persepsi.
Pada kasus guru yang merasa harapannya tak sesuai dengan sikap muridnya tadi, bisa jadi disebabkan persepsi mereka berbeda tentang konsep ideal seorang pelajar. Bagi guru, pelajar sempurna adalah yang berprestasi, rajin, sopan, rapih, hormat, dan sebagainya. Sehingga guru 'memaksa' para murid untuk ini dan itu sebagaimana yang ia persepsikan. Tapi apakah itu juga yang murid pikirkan? Belum tentu. Bisa saja murid beranggapan sosok murid seperti itu tidak 'keren', tidak gaul, jadul, dan sebagainya. Lebih-lebih ketika guru dengan 'keras' menerapkannya.
Tak ada yang keliru dari persepsi. Sekali lagi bahwa masing-masing orang memiliki 'law of selection'. Terlebih seorang murid yang cara pandangnya terhadap dunia sangatlah 'terbatas'. Pengalaman hidupnya belumlah seujung kuku dari sang guru yang jauh lebih dulu menemukan pelajaran berharga dalam perjalanan hidupnya. Wajar guru ingin memaksimalkan, sehingga terkesan 'memaksakan', energinya untuk mendidik murid-muridnya. Paling tidak pengalam dan penyesalan masa lalu tidak menimpa anak didiknya.
Persepsi murid pun kiranya tak tepat kita hakimi sebagai sebuah kesalahan. Sebab memang begitulah kondisi dunia yang membesarkannya. Mereka terlahir dalam situasi yang semakin kompleks, teknologi informasi; internet, tv, media sosial dengan semua dampak positif dan negatifnya, memberi sumbangsih besar bagi tahap pertumbuhan mereka. Bahkan alat-alat teknologi ini lebih intens bersama mereka ketimbang dengan guru-guru yang mungkin hanya berinteraksi di sekolah.
Menemukan titik temu atas ragam persepsi guru-murid mungkin menjadi titik tolak untuk mulai mengurai komunikasi yang tersumbat. Mencari titik berangkat yang sama agar apa yang murid pikirkan dengan guru ingingkan dapat bertemu pada titik yang sama, sehingga murid tetap merasa 'keren' dan 'gaul', tanpa kehilangan keluhuran pekerti serta mengabaikan arti penting berprestasi. Guru jangan Kaku, Murid jangan Belagu. Wallahua'lam Bissawab

Julmansyah Putra

Email: julmansyahputra@ymail.comTwitter: @jujulmaman