Akhir-akhir ini media ramai memperbincangkan kehadiran ISIS (Islamic State of Irak and Syiria) sebagai sebuah gerakan yang mengancam. Tak pelak ISIS seolah menjadi momok angker menakutkan yang patutut 'dimutilasi' kehadirannya di Indonesia. Baik lembaga formal pemerintah atau ormas keagamaan sepakat bahwa ISIS mengancam keutuhan NKRI. Oleh karenanya patut disiapkan langkah-langkah 'penghancurannya'.
Ini bukan kali pertama kita bersatu bersepakat untuk memerangi segala aksi yang mengancam Ibu Pertiwi, Indonesia. Pada kasus terorisme, misalnya kita sibuk mengecam sembari mengkritik ini dan itu. Mulai dari sebab absennya negara menciptakan keadilan, faktor kemiskinan, pemahaman agama yang dangkal, hingga pendidikan rendah serta belum maksimalnya pembentukan karakter anak bangsa, adalah deretan respon, koreksi juga kritik kita pada jamaknya paham radikalisme di Indonesia.
Respon sama yang selalu berulang tiap kali peristiwa serupa 'tiba-tiba' mencuat mungkin menunjukkan bahwa kita belum (sepenuhnya) melakukan apa-apa sebagai upaya pembekalan diri anak bangsa agar mampu berpikir positif dan rasional dalam merespon sebuah 'isme' yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita.
Kita sibuk bereaksi, menganalisa, dan (mudah saja) memberi solusi ini dan itu hanya pada saat muncul sebuah 'aksi'. Bukankah pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Dan bukankah sikap kita 'yang hanya ramai mengutuk' ketika ada sebuah 'aksi' adalah semacam bentuk 'kegagalan' kita dalam pencegahan.
Jika saja pencegahan 'konsisten' dilakukan sebagai upaya antisipatif melawan 'isme' radikal, mungkin kita tak perlu begitu khawatir generasi muda 'terhipnotis' dengan paham-paham baru 'yang menghancurkan' keragaman dan keutuhan harmoni NKRI. Kita tak perlu 'seheboh' ini menyikapi kehadiran ISIS di Indonesia. Sebab, karakter yang konsisten dibangun akan sendirinya menjadi benteng penolak gerkan itu.
Nurcholish Madjid, cukup jeli ketika membaca strategi dalam sebuah perjuangan yang kerap kita pakai, baginya ada dua gaya perjuangan, fight againts (berjuang melawan) dan fight for (berjuang untuk). Strategi pertama lebih cenderung berkonotasi 'hard action' (ada yang menyebutnya reaktif) sementara yang kedua sering bermakna 'soft action' juga disebut proaktif. Bagi saya, yang pertama adalah 'pengobatan', sementara yang lainnya adalah 'pencegahan'.
Mengutuk, mengecam, menangkap, dan 'membasmi' mereka yang terlibat dalam 'isme' radikal merupakan contoh konkret dari tindak 'pengobatan'. Mungkin cara ini ampuh menghilangkan wujud fisiknya, tapi belum tentu semangatnya. Alih-alih menyelesaikan masalah, fokus pada ‘pengobatan’ mungkin akan menyiapkan bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Cara ini hanya berorientasi penyelesaian jangka pendek.
Sementara upaya 'pencegahan' mengikhtiarkan problem solving jangka panjan. Cara ini mewujud dalam bentuk menyiapkan peradaban mulia dengan mula-mula meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara terstruktur, sistematis, konsisten, dan berkelanjutan.
Upaya pencegahan memang merupakan sesuatu yang 'sulit' dan membutuhkan waktu tak berbatas. Ia adalah pekerjaan seumur kehidupan manusia. Sepanjang masih ada kehidupan maka selamanya strategi nahi munkar tetap harus dilakukan. Pilihan pada strategi pencegahan bukan dimaksudkan menapikkan 'manfaat' atau kebutuhan pada strategi fight againts. Cara itu tetap relevan, namun tentu sangat bergantung pada konteks dan kebutuhannya.
Seperti almarhum cak Nur, saya percaya dan cenderung memilih jalan dakwah yang kedua (fight for) untuk menyelesaikan persoalan keummatan dan kebangsaan menuju peradaban mulia. Meski membutuhkan kesabaran juga konsistensi tingkat tinggi, cara ini mungkin meninggalkan 'bekas' yang lebih mendalam dalam diri dan hati setiap anak bangsa. Semoga.Wallhu'alam Bissawab.
Salam Powerful!
Julmansyah Putra
Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07
Sila berkunjung pula ke julmansyahputra.com / http://www.dfq-indonesia.org