Kamis, Agustus 05, 2010

Rindu Kakek; Sebuah Reflesi Diri


Satu rasa yang belakangan jarang aku alami tiba-tiba saja hadir, sedih dan ingin menangis, itu yang sedang kurasa. Bermula dari telpon ibu ku yang mengabarkan keadaan kakek ku sakitnya makin parah dan dua hari terakhir ini tak lagi mau minum obat. Mungkin ia bosan, sebab entah sudah berapa banyak obat yang ia minum untuk sembuhkan dari sakitnya.
Hal yang makin membuat aku terasa bersedih, lalu kian menghentak kesadaran akan rinduku pada sang kakek adalah pada suatu petang 25 Maret 2010, seorang pria berusia lanjut yang tinggal di dekat tempat ku bekerja mendadak tergeletak tak berdaya di suatu tempat yang biasa ia tempati sehari-harinya. Entah berapa persis usianya, tak seorang pun disekitar tempat beliau tinggal tau pasti tentang usianya. Namun satu hal yang pasti bahwa kakek tua itu biasa disapa dengan sebutan ‘engkong’.
Aku dan beberapa orang yang ketika itu sedang berada di sana kemudian membawa si engkong ke rumah sakit terdekat di daerah Pasar Rebo. Dalam perjalanan menuju rumah sakit itulah tiba-tiba rasa yang awalnya ku biarkan, ku lewatkan, dan tak begitu hirau hati tentang rasa itu, seakan terdorong kembali, menghentak-hentak memaksa muncul kepermukaan dan aku hampir menangis. Aku teringat kembali telpon dari ibu ku sore itu.
Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit, seorang teman terus saja membimbing sang kakek yang akrab disapa engkong itu dengan kalimat-kalimat takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Pun sesekali diperdengarkan kalimat, La ilaha illallah, terus dan terus. Sang kakek tua pun dengan terbata mengikuti kalimat demi kalimat yang didengarkan ke telinganya. Entah apa yang beliau rasa, sebab sesekali kaki sang kaken terasa begitu keras dan kadang dihentakkannya keras, seolah ia menahan rasa sakit yang luar biasa. Kesedihan ku mulai bercampur rasa takut juga khawatir. Lagi-lagi aku teringat kakek ku yang ada di seberang lautan, jauh di ujung Lampung.
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, kami; aku dan beberapa rekan pun, kembali ke kentor tempat kami tinggal dan bekerja. Ini karena keluarga engkong yang segera menuju rumah sakit setelah mendapat berita tentang sakitnya sudah berkumpul di rumah sakit, dimana sang kakek dirawat. Namun, beberapa orang dari robongan yang mula-mula menghantarkan sang kakek tetap juga menemani keluarga yang baru tiba itu. Aku dan beberapa rekan pun pulang, tanpa prasangka.
Sayangnya, berita duka pun datang, ketika selepas shalat subuh aku mendengarkan pengumuman yang keras terdengar dari arah Masjid yang disana jua lah si engkong biasa shalat berjamaah bersama kami. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, si kakek tua yang ramah dan tampak bersahaja itu telah kembali kepada Sang Pemilik Yang Sejati. Semoga beliau mendapat tempat yang terbaik disisi-Nya, amien. Rasa-rasanya baru kemarin selepas shalat Isya’ aku berbincang dengan sang kakek yang memberitahukan kepadaku bahwa ketika bulan Ramadhan, “enaknya tidur di masjid”, katanya dan “iya sambil menunggu sahur, sahutku.
Ingatanku tentang hari itu, dimana aku dan engkong bercengkrama selepas Isya’, menghantarkan ingatanku pada saat-saat dulu ketika liburan tiba dan aku pun bersenda gurau dengan kakeku. Aku masih teringat dengan kakek ku yang kini masih terbaring sakit di sana. Mungkin kini kakeku seusia sang kakek yang kami sapa engkong itu. Ya, aku rindu kakek ku. Andai kini aku didekatnya aku ingin mengatakan sesuatu; “Kakek ini aku cucumu, aku rindu kakek, aku ingin memberimu satu rasa bahagia dan bangga telah memiliki aku sebagai seorang cucumu. Aku belum wujudkan itu kakek. Semoga kau cepat sembuh”. Tuhan mudah-mudahan Engkau mendengar doa hamba. Amien.
  
Cijantung, 26 Maret 2010

syahputra
cucumu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar