Ari Lasso, seorang
penyanyi ternama di Indonesia, dalam sebuah lirik lagunya berpesan tetang hati,
‘sentuhlah ia tepat di hatinya, diakan jadi milikmu selamanya. Sentuh dengan
setulus cinta buat hatinya terbang melayang’, begitu bunyi liriknya. Begitu
dahsyatkah hati, sehingga dengan menguasai hatinya saja, seseorang akan
dikuasai seluruhnya.
Pernahkah kita terpikir,
mengapa ungkapan seseorang kepada mereka yang hendak bepergian atau melakukan
aktivitas tertentu, pesannya adalah, ‘hati-hati ya’. Mengapa untuk mengingatkan
kewaspadaan seseorang, hati yang digunakan sebagai perumpamaan. Mungkin, Ari Lasso
benar, yang harus kita sentuh sesungguhnya adalah hati kita. Pun, ungkapan
‘hati-hati’, mungkin sejatinya meminta hati kita yang dijaga. Sehingga, ketika
hati terjaga, seluruh pikir, kata, dan perbuatan akan satu mewujud dalam amalan
sholihan, yang artinya menjaga seluruh perbuatan dan diri kita. Dan harapan
dari pesan itu adalah agar kita selamat.
Kini, dapat dimengerti
pesan sebuah hadits yang mengatakan bahwa dalam diri manusia itu terdapat
segumpal darah, jika itu baik, maka baik pulalah seluruh amalannya. Lalu,
persoalannya adalah bagaimana menjaga segumpal darah dalam diri kita itu agar
tetap terjaga baik? Tentu ini bukan perkara mudah, sebab bicara hati siapa yang
tahu, hanya Tuhan siempunya hatilah yang Maha Mengetahui setiap isi hati kita.
Agar hati tetap terjaga
kemurniannya, tentu dibutuhkan ikhtiar yang terus menerus. Al-Quran
mengingatkan kita bahwa hati itu dapat berpikir, ‘mereka memiliki hati, namun
tak menggunakannya untuk berpikir, untuk memahami’. Artinya, hati harus
senantiasa diajak untuk memahami segala sesuatu, hati harus diasah agar tak
tumpul, tak buta, dan tak tuli. Indera pengelihatan dan pendengaran memiliki
peran yang juga tak kalah penting dalam upaya mengaktifkan hati.
Dalam keterangan
selanjutnya, al-Quran juga menyebutkan bahwa, ‘mereka memiliki mata, namun
tidak digunakan untuk melihat dan mereka memiliki telinga,
tapi tidak menggunakannya untuk mendengar’. Telinga dan mata
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses berpikirnya hati. Perlu untuk
dicatat bahwa, mendengar tidak hanya mendengar atau melihat tidak sekedar
melihat. People hearing without listening, begitu dalam istilah yang digunakan
Simon dan Garfankel untuk menyebut mereka yang tak sungguh-sunggu mendengarkan.
Apakah manusia semacam ini ada? Mungkin ya.
Jika hal demikian itu
terjadi, melihat tapi tak melihat, mendengar tapi tak mendengar. Tentu hati tak
dapat bekerja dengan baik. Hati tidak mendapat stimulan yang baik dari dua
indera, pengelihatan dan pendengaran. Akibatnya, hati membeku sebab tak
tersentuh. Pernahkah kita mengalami, ketika melihat atau mendengar sebuah
anjuran atau nasihat ‘terlambat adalah korupsi waktu’, misalnya. Tapi kita
dalam kenyataannya tetap saja terlambat dan mengkorupsi waktu kita. Apakah itu
sebuah pertanda hati kita tergerak oleh karena mata dan telinga kita hanya
berpura-pura melihat dan mendengar.
Akhirnya, hati yang mampu
berfungsi dengan sempurna adalah yang melibatkan mata untuk sungguh-sungguh melihat dan
telinga yang sungguh-sungguh untuk mendengar. Semoga kita termasuk orang yang
bersyur sebab mampu memanfaatkan potensi yang telah Tuhan berkikan itu kepada
kita. Wallahua’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar