Sore itu Buyan terpaksa harus menghentikan
laju sepeda motornya. Guyur hujan disertai angin cukup kencang membatasi jarak
pandangnya. Lebi-lebih jas hujan yang biasa dikenakannya lupa, tertinggal
dirumah, sebab kemarin hujan pula dan Buyan tak sempat merapihkannya.
Sambil berdesak-desakan di halte menunggu
hujan reda, Buyan melamunkan banyak hal. Ia membiarkan lamunya terbang entah
kemana ia ingin, Buyan tak berusaha mencegah atau membatasinya. Buyan teringat
anak dan istrinya di rumah. Lalu sebentar ia merogoh handphone yang ada di saku
jaketnya. ‘Halo mom’, Buyan menelpon istrinya, ‘di rumah hujan tidak mom’,
tanya buyan pada istrinya. ‘Di sini hujan deras, daddy harus berhenti, tadi
lupa bawa jas hujan, lanjut Buyan. ‘Kaka bagaimana mom’, tanya buyan lagi, Buyan
biasa memanggil anaknya dengan sebutan kaka. ‘Daddy kangen, pengen gendong,
peluk, cium kaka’.
Entah apa jawaban istrinya di sebrang ujung
telpon sana, Buyan tak terlalu hiraukan itu, maklum saja derai hujan, pekikan
halilintar dan riuh orang-orang yang berteduh di halte sore itu membuat suara
istrinya di ujung telpon jadi samar-samar terdengar. Bagi Buyan, cukuplah
istrinya tau bahwa ia sedang berteduh seraya merindukan mereka yang di rumah. Itu
sungguh romantis buat Buyan. Tak lama kemudian Buyan mengakhiri telponya, ‘Sudah
ya sayang, jaga diri, tunggu daddy pulang, salam cium buat kaka, salam alaikum’,
tutup Buyan.
Hujan masih saja deras ketika Buyan
mengakhiri telponya. Kembali Buyan melayangkan hayalnya. Ia teringat tentang
dirinya, pekerjaannya, rencana hidupnya yang tertunda, yang gagal, atau bahkan
mimpi-mimpi yang seolah musykil. Buyan urai satu-persatu, ia biarkan itu memenuhi
lamunnya.
Entah beberapa lama Buyan larut dalam
lamunan, tiba-tiba ia menarik nafas panjang dan menghempaskannya seolah ingin
melempar beban yang berkecamuk di pikirannya, ‘huuuft, berat sekali hidup ini,
sampai kapan begini, Buyan setengah bergumam. Buyan sering merasa jenuh dengan
rutinitas pekerjaannya, namun Buyan tak ada pilihan, jika tak bekerja,
bagaimana menafkahi keluarga, bagaimana membayar kontrakan untuk tahun berikuntnya,
bagaimana ini, bagaimana itu, bagaimana, bagaimana, dan bagaimana.
Buyan, terus menggerutu, memaki-maki nasibnya.
Ia merasa orang yang paling menderita di dunia, paling gagal, paling tak
berdaya. Dalam kegalauan yang luar biasa, Buyan mulai membanding-bandingkan
hidupnya dengan orang lain. Si anu enak, si anu beruntung, si anu bahagia, terus
dan terus saja Buyan membandingkan hidupnya. Dan semakin ia lakukan itu,
semakin menyesakkan dada, semakin menambah kegalauannya. Buyan mulai kesal dan
seamkin kesal. Seolah mimpinya, keinginannya, harapan masa depannya tak mungkin
dan mustahil nyata. Buyan semakin memaki hidup dan nasibnya. Kalau saja itu
bukan di halte yang ramai orangnya, mungkin Buyan sudah teriak keras-keras.
Buyan diam. Ia tak berani meneruskan keluh kesah, ia berhenti mencaci maki hidupnya sendiri. Buyan diam, Buyan tersadar. ‘Ampuni aku ya Allah, rasa
ini, mata ini, hati ini, telinga ini, hanya memperhatikan mereka yang lebih di
atasku, aku lupa bahwa yang hidup jauh lebih menderita juga tak sedikit jumlahnya,
aku lupa melihat ke bawah’, Buyan mengakhiri sepenggal doa dan penyesalan sore
itu di sebuah halte ketika berteduh menunggu hujan mereda.
Renungan sore di sebuah halte, 2012
jujulmaman
jujulmaman