Kamis, Februari 12, 2015

JALAN DAKWAH

Akhir-akhir ini media ramai memperbincangkan kehadiran ISIS (Islamic State of Irak and Syiria) sebagai sebuah gerakan yang mengancam. Tak pelak ISIS seolah menjadi momok angker menakutkan yang patutut 'dimutilasi' kehadirannya di Indonesia. Baik lembaga formal pemerintah atau ormas keagamaan sepakat bahwa ISIS mengancam keutuhan NKRI. Oleh karenanya patut disiapkan langkah-langkah 'penghancurannya'.
Ini bukan kali pertama kita bersatu bersepakat untuk memerangi segala aksi yang mengancam Ibu Pertiwi, Indonesia. Pada kasus terorisme, misalnya kita sibuk mengecam sembari mengkritik ini dan itu. Mulai dari sebab absennya negara menciptakan keadilan, faktor kemiskinan, pemahaman agama yang dangkal, hingga pendidikan rendah serta belum maksimalnya pembentukan karakter anak bangsa, adalah deretan respon, koreksi juga kritik kita pada jamaknya paham radikalisme di Indonesia.
Respon sama yang selalu berulang tiap kali peristiwa serupa 'tiba-tiba' mencuat mungkin menunjukkan bahwa kita belum (sepenuhnya) melakukan apa-apa sebagai upaya pembekalan diri anak bangsa agar mampu berpikir positif dan rasional dalam merespon sebuah 'isme' yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita.
Kita sibuk bereaksi, menganalisa, dan (mudah saja) memberi solusi ini dan itu hanya pada saat muncul sebuah 'aksi'. Bukankah pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Dan bukankah sikap kita 'yang hanya ramai mengutuk' ketika ada sebuah 'aksi' adalah semacam bentuk 'kegagalan' kita dalam pencegahan.
Jika saja pencegahan 'konsisten' dilakukan sebagai upaya antisipatif melawan 'isme' radikal, mungkin kita tak perlu begitu khawatir generasi muda 'terhipnotis' dengan paham-paham baru 'yang menghancurkan' keragaman dan keutuhan harmoni NKRI. Kita tak perlu 'seheboh' ini menyikapi kehadiran ISIS di Indonesia. Sebab, karakter yang konsisten dibangun akan sendirinya menjadi benteng penolak gerkan itu.
Nurcholish Madjid, cukup jeli ketika membaca strategi dalam sebuah perjuangan yang kerap kita pakai, baginya ada dua gaya perjuangan, fight againts (berjuang melawan) dan fight for (berjuang untuk). Strategi pertama lebih cenderung berkonotasi 'hard action' (ada yang menyebutnya reaktif) sementara yang kedua sering bermakna 'soft action' juga disebut proaktif. Bagi saya, yang pertama adalah 'pengobatan', sementara yang lainnya adalah 'pencegahan'.
Mengutuk, mengecam, menangkap, dan 'membasmi' mereka yang terlibat dalam 'isme' radikal merupakan contoh konkret dari tindak 'pengobatan'. Mungkin cara ini ampuh menghilangkan wujud fisiknya, tapi belum tentu semangatnya. Alih-alih menyelesaikan masalah, fokus pada ‘pengobatan’ mungkin akan menyiapkan bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Cara ini hanya berorientasi penyelesaian jangka pendek.
Sementara upaya 'pencegahan' mengikhtiarkan problem solving jangka panjan. Cara ini mewujud dalam bentuk menyiapkan peradaban mulia dengan mula-mula meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara terstruktur, sistematis, konsisten, dan berkelanjutan.
Upaya pencegahan memang merupakan sesuatu yang 'sulit' dan membutuhkan waktu tak berbatas. Ia adalah pekerjaan seumur kehidupan manusia. Sepanjang masih ada kehidupan maka selamanya strategi nahi munkar tetap harus dilakukan. Pilihan pada strategi pencegahan bukan dimaksudkan menapikkan 'manfaat' atau kebutuhan pada strategi fight againts. Cara itu tetap relevan, namun tentu sangat bergantung pada konteks dan kebutuhannya.
Seperti almarhum cak Nur, saya percaya dan cenderung memilih jalan dakwah yang kedua (fight for) untuk menyelesaikan persoalan keummatan dan kebangsaan menuju peradaban mulia. Meski membutuhkan kesabaran juga konsistensi tingkat tinggi, cara ini mungkin meninggalkan 'bekas' yang lebih mendalam dalam diri dan hati setiap anak bangsa. Semoga.Wallhu'alam Bissawab.

Salam Powerful!
Julmansyah Putra

Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07

Jumat, November 07, 2014

GALAU YES, PUTUS ASA NO

Seorang sahabat baik saya pernah berkelakar, ‘masa motivator galau’, kurang lebih begitu katanya. Dan jleeeeeb. Itu membuat kadar sai galau semakin bertambah. Semula saya begitu serius menanggapi candaan itu. Saya merasa ‘berdosa’, memotivasi agar orang lain tak galau sementara sendirinya sering dihampiri rasa tak menentu itu. Namun, setelah dipikir-pikir, apa ada orang yang tak pernah galau selama hidupnya?
Galau memang tak pandang bulu. Virusnya bisa menjangkiti siapa saja, tua, muda, kerja, nganggur, atasan, bawahan, dan bahkan kapan saja tak peduli ruang juga waktu. Sesungguhnya mahluk seperti apa galau itu?
Secara umum, banyak yang mengaritkan galau semacam perasaan yang tak nyaman, gundah, gelisah, sedih, menyesal, bingung, dan sebagainya. Semua rasa itu biasanya merupakan akibat dari keadaan silit, kesusahan, permasalahan yang sedang dialami seseorang.
Mengingat hampir mustahil manusia tak berjumpa dengan masalah, lantas apakah bisa disimpulkan hampir mustahil pula bahwa tak mungkin manusia bebas dari kegalauan? Dalam perenungan itu saya menemukan Firman Allah dalam surat al-Ma´aarij [70: 19], yang menyebutkan bahwa, ‘Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir’.
Teringat dengan candaan sahabat baik yang saya ceritakan di atas, ‘teguran’ yang ia sampaikan memang ada benarnya. Harusnya sang pemberi nasehat tak boleh galau. Tapi, bagaimana jika saya terlanjur mengalaminya (galau), haruskah saya berhenti memotivasi? Haruskah saya menyalahkan diri sendiri dan merasa berdosa? Pasti tak semestinya begitu, ingat bahwa kita tercipta sebagai mahluk yang suka berkeluh kesah.
Lantas bukan ini menjadi pembenaran untuk terlarut dalam kegalauan yang tak berkesudahan. Galau boleh dan mungkin kita perlu nikmatinya sesekali waktu. Tapi bukankah kita harus berubah. Galau boleh, yang terlarang adalah berputus asa untuk move ON. Allah ingatkan kita dalam surat Yusuf [12: 87], ‘…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.’
Akhirnya, penting untuk selalu berdoa, terutama saat membaca surat al-Fatihah [1: 7], yang kita baca berulang-lang dalam shalat, agar terhindar dari ‘jalan yang sesat’. Saya lebih senang menyampaikan doa ‘anti galau’ itu dalam kalimat sebagai berikut: ‘Ya Allah, tunujukkanlah aku jalan yang lurus. (Yaitu) jalan mereka yang telah Engkau karuniakan nikmat. Bukan jalan mereka yang Engkau murkai. Bukan pula jalan mereka-mereka yang sesat, galau, dan disorientasi. Ya Allah, perkenankanlah doa ku.' Wallahu ‘Alam Bissawab.
Salam Powerful!
Julmansyah Putra

Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07

Selasa, November 04, 2014

JANGAN AMBIL KEBERANIANKU

Sewaktu kecil, pernah saya dilarang dan ‘ditakut-takuti’ oleh paman saat coba main-mainkan sebuah gitar. ‘Eh, jangan’, paman saya coba melarang. ‘Nanti rusak. Itu gitar bagus, jangan asal mainin. Nanti kamu dimarahi lho’, lanjutnya coba menakuti. Itu ampuh, meski penasaran, saya urungkan niat untuk coba-coba mainkan gitar itu.
Larangan sang paman ‘membekas’ hingga saat ini. Saya ragu mencoba, takut bagaimana jika rusak, takut dimarahi, dan sebagainya. Celakanya, ketakutan itu tak hanya berlaku untuk gitar. Pernah saya merasa takut untuk mengoprasikan computer, saya takut salah pencet tombol. Akibatnya, waktu dulu kuliah, saya cukup lama menjadi mahasiswa gaptek alias gagap teknologi. Tahukah Anda, tanpa sadar sang paman telah mengambil ‘keberanian’ ponakannya.
Sebagai orang tua, kadang secara tak sengaja melakukan hal serupa pada anak. Melarang, menakuti, bahkan ‘menyakiti’ bila mereka ‘nakal’ atau melakukan kesalahan. Tak seharusnya orang tua mengambil ‘keberanian’ anak. Berlebihan menyikapi anak bukan hanya ‘mencelakai’ mereka, tapi melahirkan penyesalan yang mendalam. Kisah inspiratif berikut semoga memberi penyadaran bagaimana bersikap. Cerita ini saya dapat dari sebuah blog dan saya tulis ulang dalam versi sendiri. Berikut ceritanya.
Ada sepasang suami isteri yang sibuk bekerja. Mereka meninggalkan putri cantiknya yang berusia tiga setengah tahun bersama si bibi (orang yang biasa membantu di rumah mereka). Anak tunggal pasangan ini bernama Cinta. Dia gadis kecil yang lucu, cerdas, dan lincah. Meski ada si bibi, tapi pekerjaan yang cukup banyak membuat bibi sibuk di dapur dan sering meninggalkan Cinta bermain sendirian.
Suatu hari, pasangan suami istri itu berangkat ke kantor menggunakan sepeda motor untuk menghindari kemacetan Ibu Kota. Mobil barunya ditinggalkan di garasi rumah. Sementara Cinta yang lucu, menghabiskan waktunya bermain bersama ayun-ayunan, boneka, dan kadang memetik bunga di halaman rumah. Saat asik bermain, Cinta melihat paku yang berkarat. Ia coba menggoreskan paku itu ke mobil baru ayahnya. Semangat sekali ia melukis, mula-mula di sisi kiri lalu ke kanan mobil. Cinta melukis ibu dan ayahnya, dirinya sendiri, melukis ayam, kucing dan lain sebagainya mengikuti imaginasinya.
Sore harim saat pulang kerja, terkejutlah sang ayah melihat mobil barunya yang sudah penuh goresan itu. Sang ayah marah besar dan berteriak, ‘Kerjaan siapa ini?’ Mendengar itu, si bibi kaget dan segera berlari keluar. Bibi ketakutan, lebih-lebih melihat wajah tuannya yang sangat marah. ‘Saya tidak tau tuan’, si bibi bicara sambil terbata. ‘Bibi di rumah sepanjang hari, apa saja yg bibi lakukan?’ sang istri pun ikut-ikutan memarahi.
Cinta yang sedang berada di kamar, saat mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari ke luar. Dengan manja ia berkata ‘Cinta ayah yang membuat gambar itu, baguskan?’ akunya manja sambil memeluk sang ayah. Ayah yang terlanjur marah lalu mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, kemudian berkali-kali dipukulkannya ke tangan putri kecilnya itu. Cinta yang belum mengerti, menagis kesakitan juga ketakutan. Sementara ibunya hanya diam seakan mengamini perbuatan suaminya.
Cukup lama sang ayah memukul tangan kanan dan kiri anaknya. Sore itu, kedua tangan Cinta yang mungil memar, luka, dan berdarah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan putri kecil itu bengkak dan mulai bernanah. Si bibi mengadukan itu pada majikannya. ‘Oleskan obat saja! jawab sang ayah singkat.
Tiga hari berlalu, baik ayah atau ibunya tak peduli terhadap kondisi Cinta. Meski berkali-kali si bibi melaporkan kondisinya, suami istri tetap acuh. ‘Cinta demam, Bu’, kata si bibi. ‘Beri minum obat saja!’ jawab sang ibu. Semakin hari, kondisi Cinta ternyata makin memburuk. Panasnya bukan turun, tapi malah semakin menjadi. Kembali si bibi melaporkan itu kepada majikannya.
Gadis kecil yang selalu ceria itu kini tampak begitu lemah, wajahnya pucat, badannya panas, kadang mengggil. Ketika dibawa ke klinik, ternyata dokter menyarankan untuk pergi ke rumah sakit. ‘Kondisi anak bapak sudah sangat serius, harus dirujuk ke rumah sakit’, ucar dokter. Setelah dirawat intensif di rumah sakit, dokter yang menangani Cinta akhirnya memanggil orang tuanya.
Kepada mereka, dokter mengatakan, ‘Tidak ada pilihan’, kedua tangan putri anda harus diamputasi karena sakitnya sudah terlalu parah. Ini sudah bernanah, dan demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah’, tegas dokter. Mendengar itu, kedua suami istri itu terdiam dan tak kuasa menahan tangis. Terasa dunia berhenti berputar. Mereka menyesal, tapi apa yang dapat dikatakan lagi.
Sang ibu meraung merangkul putri kecilnya. Berat hati sang ayah dengan tangan bergetar menandatangani surat persetujuan operasi. Setelah selesai, saat obat bius yang disuntikkan habis, Cinta menangis kesakitan. Dia heran melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Sambil menahan sakit dan berlinang air mata, gadis kecil itupun berucap, ‘Ayah, Ibu, Cinta tidak akan melakukannya lagi, Cinta janji. Cinta akan menuruti kata-kata ayah, Cinta tak mau lagi ayah pukul, Cinta takut, Cinta takut. Cinta sayang ayah, Cinta sayang ibu.’ Gadis kecil itu tak berhenti menangis.
Tak lama kemudian ia kembali berkata, ‘Ayah, kembalikan tangan Cinta. Untuk apa diambil? Cinta janji tidak akan mengulanginya lagi. Bagaimana caranya Cinta mau makan nanti? Bagaimana Cinta mau bermain nanti? Cinta janji tidak akan mencoret-coret mobil ayah lagi’, maafkan Cinta ayah, katanya berulang-ulang dan masih tetap menangis.
Kadang sering kita dibuat ‘jengkel’ oleh kelakuan putra putri kita. Tapi sadarkah kita, itu semata karena ketidaktahuan mereka. Apa yang mereka (anak-anak) pikirkan berbeda dengan orang dewasa bayangkan. Kadang kita bersikeras memperlakukan mereka sebagaimana yang kita ingin dan pikirkan. Kadang kita lebih peduli pada sebuah barang, daripada menghargai perasaan dan keinginan mereka.
Cinta, serupa saya di waktu kecil yang ‘ditakuti’ untuk tak bermain-main dengan gitar hanya karena khawatir merusaknya, saya kehilangan keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru. Sementara Cinta kehilangan tangannya. Dan kehilangan tangan Cinta sejatinya adalah simbol dari kehilangan keberanian seorang anak. Saya dan Cinta sama-sama ‘diamputasi’.
Akhirnya, mari kita sayangi anak kita. Beri kehadiran yang berkualias untuk bersama mereka, dengarkan apa yang menjadi ingin mereka, dan jangan lupa tetap ‘sadar juga sabar’ menghadapi tingkah lucu, ‘nakal’, dan ‘menjengkelkan’ dari perbuatan mereka. Ingat! suatu hari nanti kita akan merindukan itu. Wallahua’lam Bissawab

Salam Powerful…!
Julmansyah Putra

Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07