Selasa, November 04, 2014

JANGAN AMBIL KEBERANIANKU

Sewaktu kecil, pernah saya dilarang dan ‘ditakut-takuti’ oleh paman saat coba main-mainkan sebuah gitar. ‘Eh, jangan’, paman saya coba melarang. ‘Nanti rusak. Itu gitar bagus, jangan asal mainin. Nanti kamu dimarahi lho’, lanjutnya coba menakuti. Itu ampuh, meski penasaran, saya urungkan niat untuk coba-coba mainkan gitar itu.
Larangan sang paman ‘membekas’ hingga saat ini. Saya ragu mencoba, takut bagaimana jika rusak, takut dimarahi, dan sebagainya. Celakanya, ketakutan itu tak hanya berlaku untuk gitar. Pernah saya merasa takut untuk mengoprasikan computer, saya takut salah pencet tombol. Akibatnya, waktu dulu kuliah, saya cukup lama menjadi mahasiswa gaptek alias gagap teknologi. Tahukah Anda, tanpa sadar sang paman telah mengambil ‘keberanian’ ponakannya.
Sebagai orang tua, kadang secara tak sengaja melakukan hal serupa pada anak. Melarang, menakuti, bahkan ‘menyakiti’ bila mereka ‘nakal’ atau melakukan kesalahan. Tak seharusnya orang tua mengambil ‘keberanian’ anak. Berlebihan menyikapi anak bukan hanya ‘mencelakai’ mereka, tapi melahirkan penyesalan yang mendalam. Kisah inspiratif berikut semoga memberi penyadaran bagaimana bersikap. Cerita ini saya dapat dari sebuah blog dan saya tulis ulang dalam versi sendiri. Berikut ceritanya.
Ada sepasang suami isteri yang sibuk bekerja. Mereka meninggalkan putri cantiknya yang berusia tiga setengah tahun bersama si bibi (orang yang biasa membantu di rumah mereka). Anak tunggal pasangan ini bernama Cinta. Dia gadis kecil yang lucu, cerdas, dan lincah. Meski ada si bibi, tapi pekerjaan yang cukup banyak membuat bibi sibuk di dapur dan sering meninggalkan Cinta bermain sendirian.
Suatu hari, pasangan suami istri itu berangkat ke kantor menggunakan sepeda motor untuk menghindari kemacetan Ibu Kota. Mobil barunya ditinggalkan di garasi rumah. Sementara Cinta yang lucu, menghabiskan waktunya bermain bersama ayun-ayunan, boneka, dan kadang memetik bunga di halaman rumah. Saat asik bermain, Cinta melihat paku yang berkarat. Ia coba menggoreskan paku itu ke mobil baru ayahnya. Semangat sekali ia melukis, mula-mula di sisi kiri lalu ke kanan mobil. Cinta melukis ibu dan ayahnya, dirinya sendiri, melukis ayam, kucing dan lain sebagainya mengikuti imaginasinya.
Sore harim saat pulang kerja, terkejutlah sang ayah melihat mobil barunya yang sudah penuh goresan itu. Sang ayah marah besar dan berteriak, ‘Kerjaan siapa ini?’ Mendengar itu, si bibi kaget dan segera berlari keluar. Bibi ketakutan, lebih-lebih melihat wajah tuannya yang sangat marah. ‘Saya tidak tau tuan’, si bibi bicara sambil terbata. ‘Bibi di rumah sepanjang hari, apa saja yg bibi lakukan?’ sang istri pun ikut-ikutan memarahi.
Cinta yang sedang berada di kamar, saat mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari ke luar. Dengan manja ia berkata ‘Cinta ayah yang membuat gambar itu, baguskan?’ akunya manja sambil memeluk sang ayah. Ayah yang terlanjur marah lalu mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, kemudian berkali-kali dipukulkannya ke tangan putri kecilnya itu. Cinta yang belum mengerti, menagis kesakitan juga ketakutan. Sementara ibunya hanya diam seakan mengamini perbuatan suaminya.
Cukup lama sang ayah memukul tangan kanan dan kiri anaknya. Sore itu, kedua tangan Cinta yang mungil memar, luka, dan berdarah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan putri kecil itu bengkak dan mulai bernanah. Si bibi mengadukan itu pada majikannya. ‘Oleskan obat saja! jawab sang ayah singkat.
Tiga hari berlalu, baik ayah atau ibunya tak peduli terhadap kondisi Cinta. Meski berkali-kali si bibi melaporkan kondisinya, suami istri tetap acuh. ‘Cinta demam, Bu’, kata si bibi. ‘Beri minum obat saja!’ jawab sang ibu. Semakin hari, kondisi Cinta ternyata makin memburuk. Panasnya bukan turun, tapi malah semakin menjadi. Kembali si bibi melaporkan itu kepada majikannya.
Gadis kecil yang selalu ceria itu kini tampak begitu lemah, wajahnya pucat, badannya panas, kadang mengggil. Ketika dibawa ke klinik, ternyata dokter menyarankan untuk pergi ke rumah sakit. ‘Kondisi anak bapak sudah sangat serius, harus dirujuk ke rumah sakit’, ucar dokter. Setelah dirawat intensif di rumah sakit, dokter yang menangani Cinta akhirnya memanggil orang tuanya.
Kepada mereka, dokter mengatakan, ‘Tidak ada pilihan’, kedua tangan putri anda harus diamputasi karena sakitnya sudah terlalu parah. Ini sudah bernanah, dan demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah’, tegas dokter. Mendengar itu, kedua suami istri itu terdiam dan tak kuasa menahan tangis. Terasa dunia berhenti berputar. Mereka menyesal, tapi apa yang dapat dikatakan lagi.
Sang ibu meraung merangkul putri kecilnya. Berat hati sang ayah dengan tangan bergetar menandatangani surat persetujuan operasi. Setelah selesai, saat obat bius yang disuntikkan habis, Cinta menangis kesakitan. Dia heran melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Sambil menahan sakit dan berlinang air mata, gadis kecil itupun berucap, ‘Ayah, Ibu, Cinta tidak akan melakukannya lagi, Cinta janji. Cinta akan menuruti kata-kata ayah, Cinta tak mau lagi ayah pukul, Cinta takut, Cinta takut. Cinta sayang ayah, Cinta sayang ibu.’ Gadis kecil itu tak berhenti menangis.
Tak lama kemudian ia kembali berkata, ‘Ayah, kembalikan tangan Cinta. Untuk apa diambil? Cinta janji tidak akan mengulanginya lagi. Bagaimana caranya Cinta mau makan nanti? Bagaimana Cinta mau bermain nanti? Cinta janji tidak akan mencoret-coret mobil ayah lagi’, maafkan Cinta ayah, katanya berulang-ulang dan masih tetap menangis.
Kadang sering kita dibuat ‘jengkel’ oleh kelakuan putra putri kita. Tapi sadarkah kita, itu semata karena ketidaktahuan mereka. Apa yang mereka (anak-anak) pikirkan berbeda dengan orang dewasa bayangkan. Kadang kita bersikeras memperlakukan mereka sebagaimana yang kita ingin dan pikirkan. Kadang kita lebih peduli pada sebuah barang, daripada menghargai perasaan dan keinginan mereka.
Cinta, serupa saya di waktu kecil yang ‘ditakuti’ untuk tak bermain-main dengan gitar hanya karena khawatir merusaknya, saya kehilangan keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru. Sementara Cinta kehilangan tangannya. Dan kehilangan tangan Cinta sejatinya adalah simbol dari kehilangan keberanian seorang anak. Saya dan Cinta sama-sama ‘diamputasi’.
Akhirnya, mari kita sayangi anak kita. Beri kehadiran yang berkualias untuk bersama mereka, dengarkan apa yang menjadi ingin mereka, dan jangan lupa tetap ‘sadar juga sabar’ menghadapi tingkah lucu, ‘nakal’, dan ‘menjengkelkan’ dari perbuatan mereka. Ingat! suatu hari nanti kita akan merindukan itu. Wallahua’lam Bissawab

Salam Powerful…!
Julmansyah Putra

Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07



Tidak ada komentar:

Posting Komentar