Jumat, Agustus 13, 2010

Dzikir, Ramadhan, dan Pribadi Tangguh

Julmansyah Putra

Puasa atau dalam istilah lainnya shaum, pada bulan Ramadhan merupakan satu dari kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Puasa merupakan bagian dari upaya mencapai tingkat takwa, sebagaimana dijelaskan dalam nash yang menjelaskan bahwa puasa sejatinya telah diwajibkan kepada orang beriman, pun bagi orang-orang sebelum mereka, yaitu agar menjadi insan yang bertakwa.
Derajat takwa merupakan dambaan bagi setiap muslim. Tingkatan ini tak mungkin diperoleh tanpa proses yang dinamis dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Proses yang terus-menerus itu hendaknya juga diikuti dengan kesucian jiwa, yang bermula dari dzikir yang senantiasa dilafadzkan, terutama ketika selesai mendirikan shalat. Salah satunya dzikir tahmid; al-hamdulillah, yang dibaca sebanyak 33 kali.
Dzikir Tahmid
Lafadz dzikir tahmid berasal dari Asma’ul Husna yaitu al-Hamid. Dan dari lafadz itulah seorang hamba diperintahkan untuk memohankan sesuatu melalui pesan yang terkandung di dalam lafadz tersebut; hanya milik Allah Asma’ul Husna, maka berdoalah dengannya (dengan isi pesannya), demikianlah dalam surat al A’raf [7]:180, Allah memerintahkan pada hamba-Nya.
Maka, isi pesan yang terkandung dalam dzikir tahmid (al-hamdulilah) adalah ungkapan pujian dan syukur seorang hamba pada Sang Pencipta semesta yaitu berupa nikmat iman dan Islam yang telah dikarunikan pada kaum Muslimin. Shaum (puasa), adalah bagian dari nikmat Islam itu, shaum merupakan rukun Islam keempat, ia menjadi penentu keislaman seorang hamba dengan takwa sebagai muaranya.
Pribadi yang bertakwa merupakan sosok hamba yang piawai dalam merencanakan hidupnya, pandai merancang strategi guna menghadapi hari esok; baik ketika di dunia maupun kelak di hari pembalasan, dimana tiap-tiap amal umat manusia akan diperhitungkan lalu diminta pertanggungjawaban darinya. Jika baik, selamatlah ia, bila sebaliknya, maka celakalah dia.
Kemampuan merencanakan dan merancang masa depan dengan belajar dari masa lalu merupakan salah satu ciri dari muslim yang bertakwa sebagaimana disebutkan dalam wahyu Allah, surat al-Hasry: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”. Artinya, hari esok; baik di dunia maupun akhirat, hendaknya dipersiapkan sebaik mungkin mulai dari hari ini. Apa yang kita perbuat hari ini menentukan nasib kita di hari esok. Begitulah sosok muslim yang berpribadi tangguh senantiasa pempersiapkan dirinya agar semakin baik setiap harinya.
Pribadi Tangguh
Peradaban salam, sebagaimana telah diteladankan oleh Rasulullah di kota Madinah, hanya akan terwujud dari tangan-tangan kaum muslim yang memiliki kepribadian yang tangguh. Shaum yang darinya akan lahir ketakwaan itulah sosok pribadi tangguh dibentuk.
Mewujudkan kehidupan masyarakat yang penuh dengan keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan membutuhkan perenungan, perencanaan, serta pelaksanaan yang dinamis (kontinuitas). Artinya, poin-poin yang menjadi ciri peradaban salam itu merupakan upaya yang tak terlepas dari usaha yang senantiasa menuju ke arah perubahan pada yang lebih baik, Allah adalah Maha menguasai setiap perubahan.
Proses dalam perubahan-perubahan itu menuntut kebesaran hati untuk segera mengoreksi setiap sikap atau keputusan-keputusan yang keliru atau tak lagi relevan untuk kondisi serta kebutuhan yang sedang di hadapi. Ini terkait dengan pesan dzikir tahmid; yang bersyukur atas nikmat Islam (shaum), bahwa seorang yang bertakwa hendaknya segera bertaubat, memohon ampun ketika jatuh pada kekeliuran, dalam dosa.
Muslim yang dalam dirinya memiliki semangat untuk senantiasa berpikir, bersikap, dan berperilaku taubat kepada Allah, merupakan sosok pribadi yang memiliki kehati-hatian dalam menentukan sikap serta pilihan yang hendak diambilnya. Artinya, sebelum ia benar-benar jatuh pada dosa (perbuatan salah, keliru), ia telah lebih dulu menyadarkan dirinya untuk; pertama, berpikir taubat, yang darinya kesalahan-kesalahan bisa terlebih dahulu diantisipasi. Ia berpikir apakah perbuatan atau keputusan ini merupakan perintah atau larangan Allah.
Kedua, seorang muttaqi (orang yang bertakwa) yang cenderung pada taubat akan melahirkan sikap yang juga mencerminkan kewaspadaan agar tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan sebagai larangan. Akhirnya, pikiran dan sikap pencegahan dari dosa itu diharapkan akan menjelma dalam perilaku santun dan baik. Namun, jika khilaf dan tak sengaja berdosa, ia tak segan segera memperbaharui dan merubah dirinya (introspeksi, taubat) menjadi lebih baik.
Ramadhan
Momentum Ramadhan, hendaknya dijadikan satu ikhtiar untuk membentuk pribadi tangguh (muttaqi) yang darinya kemampuan mewjudkan masyarakat salam; yaitu satu masyarakat yang penuh dengan keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan dapat menjadi kenyataan, sebagaimana peradapan Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw.
Sejatinya, puasa tak sekedar berdimensi hubungan vertikal hamba dengan Khaliknya. Tapi juga harus berdimensi kemanusiaan, yaitu sebuah semangat untuk mewujudkan peradaban agung, dimana seluruh masyarakatnya mampu merasakan kedamaian dan mendapatkan kesempatan yang sama dalam kesejahteraan. Ini mungkin akan jauh panggang dari api, bila tiap-tiap kaum Muslimin tak memiliki kerelaan untuk berbagi, bersikap saling memaafkan, membimbing pikiran, sikap, juga perilaku dalam perbuatan baik dan segera memohon ampun jika melakukan kesalahan.
Akhirnya, sifat-sifat demikian itu ada dalam pribadi tangguh yang merupakan konsekuensi dari ibadah puasa (Ramadhan) yang kita laksanakan setiap tahunnya, sebagaimana janji Allah yang akan menempatkan orang-orang yang berpuasa pada derajat takwa. Semoga kita menjadi bagian dari golongan ini. Wallahu a’lam bissawab

(Tulisan pernah dimuat di Radar Lampung, Jumat, 13 Agustus 2010)http://www.radarlampung.co.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar