Senin, Januari 20, 2014

SURAT LABA-LABA

Shubuh memang selalu menjadi waktu yang syahdu. Kali ini, selepas shalat, saya membaca al-Quran. Melihat daftar isinya, saya pilah-pilah surat mana yang ingin saya baca. Keingintahuan saya tertuju pada sebuah surat yang rasanya cukup unik, Laba-laba (al-'Ankabut), demikian nama ayat Allah itu.

Shubuh kali ini perjalanan spiritual saya akan ditemani 'Laba-laba', hehe. Saya penasaran, mengapa surat ini bernama 'Laba-laba', apa maksudnya? Maka tuk obati penasaran itu, saya mulai membaca ayat demi ayatnya. Bismillahirrahmanirrahiem.

Saya usahakan ketika mengaji, tidak sekedar melafalkan lafaz Arabnya. Setelah membaca satu ayat, lalu saya renungkan pula artinya. Begitu seterusnya sampai selesai. Kadang saya berhenti sebentar di satu ayat yang saya baca. Saya coba mengaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang pernah saya lihat atau dengar, baik yang saya alami sendiri atau pelajaran yang bisa saya petik dari kisah hidup orang lain. Metode ini cukup ampuh untuk mengolah rasa. Saya tersadarkan tentang banyak hal.

Ternyata, dari enampuluh sembilan ayat dalam surat ini, hanya satu ayat saja yang bercerita 'Laba-laba', yaitu pada ayat keempat puluh satu. Ayat ini mengibaratkan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai pelindung, sepeti laba-laba yang membuat rumah. Dan selemah-lemahnya rumah adalah sarang laba-laba itu.

Secara kasat mata rumah laba-laba yang setidaknya saya ketahui memang bukanlah bangunan kokoh. Sekali kibasan, sarang itu bisa langsung luluh lantah. Ia hanya rangkaian jaring-jaring yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga sang laba-laba bisa asik bertengger di sana sambil menanti mangsa yang tersangkut. Tapi mungkin berbeda dengan rumah Spider Man ya. Hehe

Saya teruskan membaca, sampai bertemu pada satu ayat yang membuat saya berhenti cukup lama, dan beberapa kali saya ulang. Bunyinya begini: 'Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlas) kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). QS. Al-'Ankabut [29]: 65. Tak sadar saya ternyum. Saya tersipu. Hehe. Ada rasa malu, sebab ingat sebuah peristiwa di masa lalu, delapan tahun yang silam.

Sahabat-sahabat ingat gempa Jogya tahun 2006? Nah pada momen itu kejadiannya. Saat itu saya dan keluarga berkunjung ke rumah kakek (ayah dari ibu saya). Setelah beberapa hari di sana, dan setelah cukup puas menikmati jalan-jalan di kota Gudeg ini, keluarga pun kembali pulang ke Lampung. Tapi saya masih punya acara, jadi tak turut rombongan keluarga yang pulang.

Itu hari Jumat, dan gempa dahsyat itu terjadi sabtu dini hari. Seisi rumah kost tempat saya numpang menginap panik. Semua berlomba jadi yang pertama keluar rumah. Kami berdesakan di depan pintu untuk beberapa saat, semua ingin membuka slot pintu yang terkunci. Cukup lama sampai pintu itu bisa kami buka. Survey membuktikan, ternyata ketika panik hal yang seharusnya mudah jadi susah. Hehe

Gempa besar itu diikuti gempa susulan skala kecil, tapi berkali-kali. Saya, teman-teman, dan beberapa orang tetangga duduk di tepi jalan sambil bercerita seputar guncangan gempa besar tadi. Celaka, ternyata ada teman yang masih sempat-sempatnya memanggil mas penjual soto yang kebetulan lewat, kemudian memesan satu mangkok.

Dia menawari saya. Mula-mula saya menolak. Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin dalam suasana mencekam dia masih sempat makan. Ampun dijee. Hehe. Tapi setelah melihat yang lain ikut 'nyoto', tak tahan pula perut awak, lapeeeerrrrrr. Hehe.

Ketenangan itu tak berlangsung lama buat saya. Tiba-tiba orang-orang berlarian, motor 'seliweran' dengan kecepatan tinggi. 'Air, air, air', begitu mereka berlari dan berteriak. Menyaksikan itu, satu hal yang saya ingat adalah tsunami Aceh yang pernah meluluhlantahkan bagian Indonesia yang dijuluki Serambi Mekah itu. Wow, ingatan itu semakin menambah rasa takut saya. 'Deg, deg, deg', jantung saya berdegup kencang. Saya pucat. Saya benar-benar takut.

Dalam ketakutan yang sangat itulah saya begitu ikhlas, begitu pasrah berdoa, 'ya Allah, jika saya harus Kau panggil di sini, hari ini, saya ikhlas, saya ridho, saya siap'. Tak berhenti saya membaca ayat-ayat yang saya hafal, saya ulang-ulang. Hari itu begitu berbeda, saya membaca kalam Allah itu dengan begitu khusyu. Dan alhamdulillah, syukur luar biasa, gempa itu tak disertai tsunami.

Cerita ini menyadarkan saya tentang pesan yang tergambar dalam surat 'Laba-laba' itu. Gempa Jogja ibarat sebuah kapal yang saya ada didalamnya. Saya berdoa, khusyu, ikhlas, segalanya saya pasrahkan pada Allah, semoga selamat selama perjalanan sampai kapal bersandar di darat.

Tapi kadang, setelah 'aman' di darat (dalam konteks saya adalah ketika ketakutan dalam gempa itu berlalu), saya melupakan untuk tetap menggantungkan sepenuhnya hidup saya pada Sang Maha Pemberi Pelindung. Kadang saya membangun rumah laba-laba. Astagfirullahal aziem. Pada Allah saya mohon ampun.


Salam Powerful

Cijantung, 18 Januari 2014

jujulmaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar