![]() |
sumber foto: iklan djarum 76 |
Suatu ketika seorang konsultan muda yang baru saja merintis karir, bertemu
dengan salah seorang sahabat lamanya. Terhitung cukup lama dua sahabat ini tak
bersua. Pertemuan itu menjadi momentum lepas rindu bagi mereka. Dan mulailah
keduanya membuka album hidupnya, bercerita tentang tentang banyak hal, yang
lucu, yang haru, bahkan yang pilu. Mereka tertawa, saling mentertawai, dan sesekali mentertawai dirinya sendiri. Kadang kalau dipikir-pikir hidup
memang lucu, hehe.
Lama mereka bertukar kisah, sampai
akhirnya si konsultan muda menawarkan bekerja sama untuk mengembangkan lembaga
konsultannya. Maklum, sahabatnya ini seorang aktivis yang kenal banyak pejabat juga
politisi. Maka wajar si konsultan muda mengajak sahabatnya kerja sama, lebih-lebih
untuk dunia konsultan yang baru digelutinya itu.
Meski kenal banyak pejabat dan politisi, sahabatnya ini masih lebih sering
'bermasalah' dalam hal keuangan.
Ternyata relasi saja belum cukup membuat kita 'cukup'. Modal Intelektual
(expertise) rasanya penting untuk meyakinkan relasi bahwa kita memang layak
'dipakai' jasanya. Sahabatnya memang punya banyak relasi, sayangnya belum berhasil
mengasah passionnya hingga menyulap diri menjadi sang ahli. (Baca tulisan sebelumnya,
'Temukan Passionmu')
Sadar akan hal itu, si konsultan muda mengajak kerja sama sahabatnya,
dengan harapan jaringan yang dimiliki sahabatnya bisa menjadi energi positif
yang dapat diubah menjadi bahan bakar pengembangan diri (menjadi expert)
sekaligus menjadi ikhtiar menemukan rezeki.
Sayang sungguh sayang, jauh dari bayangan. Tawaran si konsultan muda dijawab mengecewakan, ‘mau bayar
guwa berapa lu, wani
piro?', ujar sahabatnya. Konsultan muda terkejut, ia tersenyum dan tak ada satu
kata pun yang terucap dari
mulutnya.
Pertemuan itu berlalu begitu saja, yang didapat hanya cerita nostalgia. Konsultan
muda pulang membawa segudang kecewa karena sikap sahabatnya. 'Dia tau saya ini baru
mulai, saya tau bahwa dia juga belum sukses-sukses amat, walau relasinya banyak, jika tak pandai
memanfaatkannya, untuk apa,
sia-sia. Sebagai sahabat, saya hanya ingin mengajak maju bersama.', gerutu konsultan muda
dalam hati, sambil
menginga-ingat kata-kata sahabatnya.
Ada pelajaran berharga yang konsultan muda dapat dari pertemuannya itu. Sebagai
seorang konsultan tentu dia harus bergaul dengan banyak orang. Semakin luas
jaringan silaturahimnya, akan semakin banyak peluang jasa konsultannya mendapat
klien. Namun, gaul saja belum cukup. Harus ada sesuatu yang pantas untuk
'dijual'. Apa itu? 'Keahlian'. Tanpa itu, nasibnya
pun mungkin akan serupa dengan yang
dialami sahabat aktivisnya itu.
Tak kalah penting, pertemuan itu menyadarkan bahwa sikap sahabatnya yang
berfokus pada 'to have', dengan semboyan wani pironya, menghalangi diri untuk mengembangkan potensi
dirinya menjadi expert. Tanpa iming-iming
ibalan, Ia enggan
berlatih mengasah bakat dengan
menambah jam terbang. Fokusnya
pada 'to have', membunuh potensinya untuk menjadi expert (to be).
Sikap hidup ‘wani piro’ adalah godaan kesenangan sesaat. Wani piro
adalah sejenis penyakit yang bisa mengidap siapa saja dan menghalanginya untuk
membuka pintu-pintu kemenangan (kesuksesan)
dalam hidup. Tak salah memang menghitung-hitung apa yang akan kita dapat. Tapi terlampau
fokus pada 'saya dapat apa dan berapa', menghilangkan penghargaan pada proses
berlatih menjadi ahli.
So, yuk fokus pada 'to be', insyaAllah 'to have' mengiringi dibelakangnya. Mari
memantaskan diri menjadi sosok yang expert sehingga tanpa bertanya wani piro
pun, orang akan malu 'membayar' kita dengan harga yang murah.
Cijantung, 4 Februari 2014
jujulmaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar