Rabu, Juni 18, 2014

GURU JANGAN KAKU, MURID JANGAN BELAGU

suber foto: http://www.suryaonline.co/
Seorang guru bercerita betapa beratnya mendidik murid-muridnya. 'Ah, siswaku. Mengapa sikap dan perilakumu kadang tak seperti yang aku harapkan. Adakah yang salah dari caraku mengajarimu. Ya Allah maafkan kelemahanku ini', demikian tulis seorang guru di status facebooknya.
Kegelisahan sang guru mungkin mewakili sekian banyak perasaan para guru di Indonesia, atau bahkan di manapun. Guru memang memiliki tanggung jawab moral untuk menjamin terlahirnya generasi berkarakter luhur, yang tidak sekedar pandai intelektual, tapi cerdas emosional dan kuat secara spiritual sekaligus.
Celakanya, apa yang ada di pikiran murid sering berbanding terbalik dengan cita-cita mulia seorang guru. Tak jarang murid menjuluki 'killer' pada guru yang tegas menegakkan disiplin sekolah, tegas menanamkan prinsip-prinsip kebaikan dan sebagainya. Niat baik seorang guru tak selalu dimaknai serupa oleh muridnya.
Persepsi berbeda atas kesadaran akan sesuatu merupakan kewajaran yang alamiah. Setiap manusia sejak kelahirannya diberi bekal apa yang disebut dengan 'law of selection'. Sebuah kemampuan untuk menilai, menyeleksi, memberi kesan pada sebuah objek yang dilihatnya. Objek pengelihatan bisa saja sama, namun titik tolak yang berbeda dalam pengamatannya akan menghasilkan kesimpulan berbeda. Itulah persepsi.
Pada kasus guru yang merasa harapannya tak sesuai dengan sikap muridnya tadi, bisa jadi disebabkan persepsi mereka berbeda tentang konsep ideal seorang pelajar. Bagi guru, pelajar sempurna adalah yang berprestasi, rajin, sopan, rapih, hormat, dan sebagainya. Sehingga guru 'memaksa' para murid untuk ini dan itu sebagaimana yang ia persepsikan. Tapi apakah itu juga yang murid pikirkan? Belum tentu. Bisa saja murid beranggapan sosok murid seperti itu tidak 'keren', tidak gaul, jadul, dan sebagainya. Lebih-lebih ketika guru dengan 'keras' menerapkannya.
Tak ada yang keliru dari persepsi. Sekali lagi bahwa masing-masing orang memiliki 'law of selection'. Terlebih seorang murid yang cara pandangnya terhadap dunia sangatlah 'terbatas'. Pengalaman hidupnya belumlah seujung kuku dari sang guru yang jauh lebih dulu menemukan pelajaran berharga dalam perjalanan hidupnya. Wajar guru ingin memaksimalkan, sehingga terkesan 'memaksakan', energinya untuk mendidik murid-muridnya. Paling tidak pengalam dan penyesalan masa lalu tidak menimpa anak didiknya.
Persepsi murid pun kiranya tak tepat kita hakimi sebagai sebuah kesalahan. Sebab memang begitulah kondisi dunia yang membesarkannya. Mereka terlahir dalam situasi yang semakin kompleks, teknologi informasi; internet, tv, media sosial dengan semua dampak positif dan negatifnya, memberi sumbangsih besar bagi tahap pertumbuhan mereka. Bahkan alat-alat teknologi ini lebih intens bersama mereka ketimbang dengan guru-guru yang mungkin hanya berinteraksi di sekolah.
Menemukan titik temu atas ragam persepsi guru-murid mungkin menjadi titik tolak untuk mulai mengurai komunikasi yang tersumbat. Mencari titik berangkat yang sama agar apa yang murid pikirkan dengan guru ingingkan dapat bertemu pada titik yang sama, sehingga murid tetap merasa 'keren' dan 'gaul', tanpa kehilangan keluhuran pekerti serta mengabaikan arti penting berprestasi. Guru jangan Kaku, Murid jangan Belagu. Wallahua'lam Bissawab

Julmansyah Putra

Email: julmansyahputra@ymail.comTwitter: @jujulmaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar