Selasa, Agustus 12, 2014

MENANG KALAH, BIASA!

Kemenangan berbuah kekalahan, jika tak ‘sanggup’ memaknainya. Pun, kekalahan adalah kemenangan, bila darinya hikmah banyak dipetik. Suhu panas politik Indonesia belakangan ini, terutama detik-detik mengumuman pasangan mana yang melenggang ke Istana, melahirkan kekhawatiran akan ketaksiapan kontestan pemilu untuk menerima kenyataan, kalah atau menang. Akibatnya, Indonesia-lah yang menjadi tumbalnya.

Adalah biasa menang kalah dalam sebuah kompetisi. Menang tak melulu ‘istimewa’. Kalah-pun tak lantas berarti ‘hina’. Sayangnya, dalam anggapan sebagian besar kita, kadang saya di antaranya, bahwa menang adalah harga mati dari sebuah usaha. Sementara kalah harus dihidari, bahkan dibuang jauh dari jalan ikhtiar kita. Kalah, melulu bermakna negatif, jelek, juga hina.

Peritiwa semacam ini tak saja terjadi di panggung politik, yang jelas-jelas ‘berebut’ kuasa. Takut kalah dan ingin selalu menang juga menampilkan wujudnya dalam dunia pendidikan, pergaulan, bahkan urusan agama sekalipun.

Teman saya pernah bercerita bahwa dia ‘dimusuhi’ oleh seorang guru agama. Pasalnya, ia yang notabene masih muda, jauh dibanding usia sang guru dan dia pun terhitung baru tinggal di daerah tersebut, belakangan lebih sering tampil di masyarakat. Kehadiran sahabat saya itu, seolah dianggap menggeser poisi yang biasa diperankan oleh sang guru.

Sikap sang guru yang ‘memusuhi’ orang lain yang tampil sepertinya, seolah menunjukkan ketidaksiapannya untuk kalah. Ia merasa tersaingi dengan hadirnya guru lain. Padahal, tentu tak patut mengguankan rumusan menang kalah dalam melakukan dakwah. Contoh lain adalah kisah ketakukan siswa terhadap kegagalan (kalah) dalam mengikuti UN. Akibatnya, mencontek, bahkan bersedia membeli kunci jawaban menjadi pilihan dari ketidaksiapan pada kekalahan.

Dalam lingkup pergaulan pun tak jauh berbeda. Biasanya, hal negatif yang dilakukan anak muda bermula dari gengsi dan kekhawatiran tidak diakui oleh kelompoknya. Tak dapat pengakuan ini dianggap sebuah kehinaan (kekalahan). Kata-kata ‘ah, ga gaul lu’ adalah momok menakutkan bagi sebagian anak muda sekarang ini. Dapat diterka, bahwa mereka akan melakukan apapun agar diakui, sekalipun itu negatif. Maraknya kasus narkoba, tauran pelajar, dan sebagainya mungkin dapat dijadikan contoh nyatanya.

Apa sesungguhnya arti sebuah kemenangan, apa pula makna dari kekalahan. Seorang guru yang diceritakan oleh sahabat saya tadi merasa kalah darinya. Apakah ia benar-benar kalah? atau itu hanya kegagalan untuk menangkap hikmah dari keberadaan orang lain yang serupa dengannya? Bukankah sang guru sesungguhnya menang, sebab ada generasi muda yang meringankan tugasnya, membantunya untuk berjuang mencerdaskan masyarakat. Pun, kasus murid yang mencontek demi lusus UN dan anak muda yang rela melakukan negatif hanya karena ingin diakui, merupakan kegagapan memaknai kemengangan dan kekalahan, keberhasilan juga kegagalan.

Dalam konteks suhu politik yang semakin memanas. Belajar dari kehidupan, ‘membaca’ semua peristiwa yang terjadi merupakan ikhtiar untuk menjadi bijaksana, memantabkan diri agar pantas disebut pemimpin. Maka penting bagi para petinggi negeri yang hari ini sedang berkompetisi, untuk belajar memaknai kemenangan juga kekalahan. Tanpa itu, kemenagan mungkin tak melahirkan maslahat bagi seluruh masyarakat dan kekalahan akan bermuara pada kehancuran. Tidak hanya bagi orang yang dianggap ‘musuh atau lawan’, tapi bagi dirinya sendiri, bahkan bagi kehidupan umat manusia. Wallahu’alam Bissawab.


#SiapMenangSiapKalah
Salam Powerful!

Julmansyah Putra



Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07
Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar