Kemenangan berbuah kekalahan,
jika tak ‘sanggup’ memaknainya. Pun, kekalahan adalah kemenangan, bila darinya hikmah
banyak dipetik. Suhu panas politik Indonesia belakangan ini, terutama
detik-detik mengumuman pasangan mana yang melenggang ke Istana, melahirkan
kekhawatiran akan ketaksiapan kontestan pemilu untuk menerima kenyataan, kalah
atau menang. Akibatnya, Indonesia-lah yang menjadi tumbalnya.
Adalah biasa menang kalah dalam
sebuah kompetisi. Menang tak melulu ‘istimewa’. Kalah-pun tak lantas berarti
‘hina’. Sayangnya, dalam anggapan sebagian besar kita, kadang saya di
antaranya, bahwa menang adalah harga mati dari sebuah usaha. Sementara kalah
harus dihidari, bahkan dibuang jauh dari jalan ikhtiar kita. Kalah, melulu
bermakna negatif, jelek, juga hina.
Peritiwa semacam ini tak saja
terjadi di panggung politik, yang jelas-jelas ‘berebut’ kuasa. Takut kalah dan
ingin selalu menang juga menampilkan wujudnya dalam dunia pendidikan,
pergaulan, bahkan urusan agama sekalipun.
Teman saya pernah bercerita bahwa
dia ‘dimusuhi’ oleh seorang guru agama. Pasalnya, ia yang notabene masih muda,
jauh dibanding usia sang guru dan dia pun terhitung baru tinggal di daerah
tersebut, belakangan lebih sering tampil di masyarakat. Kehadiran sahabat saya itu, seolah dianggap menggeser
poisi yang biasa diperankan oleh sang guru.
Sikap sang guru yang ‘memusuhi’
orang lain yang tampil sepertinya, seolah menunjukkan ketidaksiapannya untuk
kalah. Ia merasa tersaingi dengan hadirnya guru lain. Padahal, tentu tak patut mengguankan rumusan menang kalah dalam
melakukan dakwah. Contoh lain adalah
kisah
ketakukan siswa terhadap kegagalan (kalah) dalam mengikuti UN. Akibatnya,
mencontek, bahkan bersedia membeli kunci jawaban menjadi pilihan dari
ketidaksiapan pada kekalahan.
Dalam lingkup pergaulan pun tak
jauh berbeda. Biasanya, hal negatif yang dilakukan anak muda bermula dari
gengsi dan kekhawatiran tidak diakui oleh kelompoknya. Tak dapat pengakuan ini
dianggap sebuah kehinaan (kekalahan). Kata-kata ‘ah, ga gaul lu’ adalah
momok menakutkan bagi sebagian anak muda sekarang ini. Dapat diterka, bahwa
mereka akan melakukan apapun agar diakui, sekalipun itu negatif. Maraknya kasus narkoba, tauran pelajar,
dan sebagainya mungkin dapat dijadikan contoh nyatanya.
Apa sesungguhnya arti sebuah kemenangan, apa pula makna dari kekalahan.
Seorang guru yang diceritakan oleh sahabat saya tadi merasa kalah darinya.
Apakah ia benar-benar kalah? atau itu hanya kegagalan untuk menangkap hikmah
dari keberadaan orang lain yang serupa dengannya? Bukankah sang guru
sesungguhnya menang, sebab ada generasi muda yang meringankan tugasnya,
membantunya untuk berjuang mencerdaskan masyarakat. Pun, kasus murid yang
mencontek demi lusus UN dan anak muda yang rela melakukan negatif hanya karena
ingin diakui, merupakan kegagapan memaknai kemengangan dan kekalahan,
keberhasilan juga kegagalan.
Dalam
konteks suhu politik yang semakin memanas. Belajar dari kehidupan, ‘membaca’
semua peristiwa yang terjadi merupakan ikhtiar untuk menjadi bijaksana,
memantabkan diri agar pantas disebut pemimpin. Maka penting bagi para petinggi
negeri yang hari ini sedang berkompetisi, untuk belajar memaknai kemenangan
juga kekalahan. Tanpa itu, kemenagan mungkin tak melahirkan maslahat bagi
seluruh masyarakat dan kekalahan akan bermuara pada kehancuran. Tidak hanya
bagi orang yang dianggap ‘musuh atau lawan’, tapi bagi dirinya sendiri, bahkan
bagi kehidupan umat manusia. Wallahu’alam Bissawab.
#SiapMenangSiapKalah
Salam Powerful!
Julmansyah Putra
Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07
Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar