Senin, Juli 21, 2014

TETAPKAN AKHIR HIDUPMU

Bicara soal kematian kadang membuat sebagian orang merinding. Lebih-lebih ketika berpikir tentang ajal diri sendiri. Ini adalah persoalan semua orang, dan saya salah satunya. Pernah saya begitu takut jikalau tiba-tiba Tuhan mengambil titipan berupa hidup ini. Saya berhenti bernafas, dimandikan, dikafani, disholatkan, kemudian beramai-ramai diantar ke peradeuan terakhir, untuk kemudian saya mulai ‘hidup’ baru sendiri di dalam kubur.

Satu hal yang membuat saya semakin takut, kadang sedih, bahkan merinding adalah ketika ingat bahwa saya harus meninggalkan keluarga, meninggalkan anak, orang tua, saudara, dan orang-orang yang kita sangat sayangi. Ingat semua itu, saya semakin takut.

Tapi, setelah direnugkan kembali, ternyata dengan mengingat kematian dan bahkan menetapkan akhir hidup, kita mampu menjadikan sisa umur semakin berharga. Menghargai setiap momen kebersamaan kita di tengah keluarga, keterlibatan kita di lingkungan kerja, suasana keakraban dalam persahabatan, merupakan energi yang lahir dari kesadaran kita pada kematian. Ternyata dengan begitu, hidup semakin indah dan penuh makna.

Kesadaran ini saya temukan setelah membaca sebuah cerita yang sangat inspiratif tentang seorang laki-laki yang tampak begitu bosan, jenuh dengan hidupnya. Dalam kegalauan hidup itu ia memutuskan menemuia orang bijak, seorang sufi untuk menasehatinya. ‘sufi, saya bosan hidup, rumah tangga saya berantakan, usaha saya kacau. Saya ingin mati saja’, curhat pria itu pada sang sufi.

Mendengar itu, sang sufi tersenyum dan berkata, ‘oh, anda tampaknya sedang sakit. Tapi yakinlah, sakitmu bisa disembuhkan’. ‘Tidak sufi, saya sudah memutuskan untuk mengakhiri hidup ini’, jawab pria itu memastikan. Mendengar itu, sang sufi berkata, ‘baiklah, jika itu keputusanmu, silahkan kau minum racun ini. Minumlah setengah botol malam ini dan sisanya kau minum besok sore pukul 6. Jangan khawatir 3 jam setelah itu kamu akan mati dengan tenang’, ujar sang sufi meyakinkan pria itu.

Meski kelihatan bingung melihat sikap sang sufi yang bukan mencegahnya dan memotivasi agar ia tetap hidup, pria yang berniat mengakhiri hidupnya itupun kembali pulang ke rumah dan menjalankan perintah sang sufi. Ia meminum setengah botol racun dan menyimpan sisanya untuk diminum besok sore.

Pria itu berpikir bahwa ini adalah malam terakhirnya bersama keluarga. Maka, ia pun mengajak keluarganya makan malam di restoran pavoritnya. Ia memesan semua makanan kesukaannya. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak ia lakukan. Tak lupa, pria yang berniat mati itupun bersenda gurau penuh suka cita bersama anak-anak dan istrinya. Ia ingin meninggalkan kesan terakhir yang patut dikenang, pikirnya. Sebelum tidur, ia sempatkan menuju kamar anaknya, memberi dongeng sampai anaknya terlelap. Tak ketinggalan, pria ini mencium kening istrinya, sambil mengatakan, ‘sayang, aku mencintaimu’.

Pagi-pagi sekali pria itu bangun dari tidurnya. Membuka jendela kamar, melihat pemandangan halaman rumahnya. Ia menikmati setiap hirupan udara pagi yang sungguh menyegarkan itu. Pria ini memutuskan berjalan-jalan pagi terakhirnya. Ia berjalan sendiri mengelilingi kompleks perumahan tempat ia tinggal. Menyapa setiap orang yang ia temui dengan begitu ramah dan hangat. Pagi itu, sang pria merasa begitu bahagia.

Setelah cukup puas berjalan-jalan. Pria yang berniat mengakhiri hidupnya itupun kembali ke rumah. Melihat sang istri masih tidur, pria itupun membuat 2 buah gelas teh hangat. Kemudian ia membangunkan istrinya dengan lebut. ‘sayang, bangun sayang. Ini aku sudah siapkan teh hangat untukmu’. Perlakukan yang tidak biasa itupun membuat sang istri tampak begitu heran. Lalu memberanikan diri bertanya, ‘pa, apa yang terjadi? Apakah aku ada salah ya? Maafkan aku ya sayang’. Ujar sang istri.

Pria itu hanya tersyum, menggelengkan kepala samabil terus menikmati teh hangat buatannya. Tentu saja istrinya semakin merasa aneh, tapi ia cepat menyesuaikan diri. Ia tak ingin merusak kebahagiaan suaminya pagi ini.

Setelah rapih, pria itupun bergegas menuju kantor. Tampaknya ia tak ingin melewatkan hari kerja terakhirnya. Ia menguacapkan salam pada seluruh stafnya. Tentu saja, seperti istrinya di rumah, karyawan-karyawannya pun keheranan melihat perubahan bosnya itu. ‘Lho, tumben, biasanya si bos tak pernah seramah itu. Ko aneh ya?’, ucap salah seorang staf. ‘Iya’, jawab staf lain membenarkan. ‘Biasanyakan pak bos jutek, boro-boro menyapa, sedikit senyumpun tidak. Mengapa hari ini beliau begitu toleran, menghargai pendapat kita yang berbeda. Aneh, mungkin beliau mulai menikmati pekerjaannya’, katanya terheran.

Sekali lagi, pria yang ingin bunuh diri itu merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Terlebih, ketika sore hari ia tiba di rumah, sang istri menyambutnya dengan senyum dan menciumnya. Anak-anaknya pun tampak begitu ceria, berlari menghampiri dan memeluknya. Mereka begitu bahagia melihat perubahan sang ayah.

Pria itu menemukan keindahan hidup, justru satu hari sebelum ia menetapkan waktu akhir dari hidupnya. Tiba-tiba ia ingin mengurungkan niat bunuh dirinya. Namun, yang terpikir olehnya adalah, bagaimana dengan racun setengah botol yang sudah terlanjur ia minum? Buru-buru pria itu mendatangi sang sufi. Dalam cemas, ia berkata pada sang sufi bahwa ia ingin mengurungkan niatnya bunuh diri. ‘Tapi bagaimana dengan racun yang terlanjur aku minum kemarin wahai sufi?’ Tanya pria itu.

Sufi itupun tersenyum dan mengatakan, ‘buang saja sisa racun di botol itu. Sesungguhnya aku tidak memberimu racun. Aku hanya memasukkan air putih biasa ke dalam botol itu.’ Dan saya bersykur, kini engakau sudah kembali pulih dari sakitmu, tutur sang sufi.

Mungkin kita pernah merasa bosan dengan hidup yang kita jalani. Itu alamiah. Tapi ketahuilah, seperti pengalaman pria dalam cerita tadi, semua berubah indah pada saat kita sadar akan meninggalkannya. Menetapkan kapan akhir dari kehidupan, mungkin akan membantu kita menghargai setiap momen kehidupan yang sedang dijalani. Semoga. Wallahu’alam Bisswab

Salam Powerful!
Julmansyah Putra


Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @jujulmaman
Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org


Tidak ada komentar:

Posting Komentar